Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menginformasikan, paling tidak terdapat 18 dokter meninggal dunia setelah terpapar virus corona atau Covid-19. Humas IDI, Halik Malik mengatakan, pihaknya prihatin terhadap kepergian kawan-kawan sejawatnya itu.
"Sejauh ini kami sangat prihatin dan menyesalkan jika tenaga medis yang menjadi benteng pelayanan ini tumbang satu per satu tanpa ada upaya serius (pemerintah) untuk melindungi mereka," kata Halik kepada Liputan6.com, Minggu (5/4/2020).
Advertisement
Halik menyebut, banyaknya tenaga medis yang tumbang dalam menangani virus corona ini semestinya menjadi alarm bagi organisasi profesi dan pemerintah agar dilakukan penelusuran lebih jauh terkait faktor risiko dan penyebabnya.
"Sehingga bisa diambil langkah antisipatif dan langkah nyata penguatan sistem layananan kesehatan yang ada di Indonesia," paparnya.
Halik menyebutkan, respons kontras terlihat antara pemerintah Korea Selatan dengan Indonesia. Menurut dia, pemimpin di Korea Selatan begitu terpukul kala mendengar beberapa tenaga medis meninggal.
"Sampai mengambil kebijakan ekstrem bagaimana mengantisipasi itu," ungkapnya.
Begitupun dengan yang terjadi di Prancis, menurut Halik, satu dokter meninggal saat menangani virus corona di sana, maka perdana menterinya dituntut.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Langgar HAM
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar mengatakan, pemerintah mesti meminta maaf terkait banyaknya tenaga medis yang gugur di tengah pandemi vorus corona.
Permintaan maaf utamanya harus diberikan terhadap keluarga para tenaga medis yang telah meninggal. Pasalnya, kata dia, meninggalnya para tenaga kesehatan dalam penanganan virus corona itu merupakan tanggung jawab Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
"Pertama, saya rasa (pemerintah) harus minta maaf," kata Rivanlee kepada Liputan6.com, Minggu (5/4/2020).
Menurut Rivanlee, secara tidak langsung meninggalnya para tenaga kesehatan itu disebabkan kelalaian pemerintah yang tidak memberikan perlengkapan alat perlindungan diri (APD) kepada mereka secara merata di seluruh Indonesia.
"Kalau presiden kemarin bilang, sudah menyebar sekian ribu APD ke daerah ini, daerah ini. Sekarang masih ada juga dokter yang disebutkan sama presiden itu kekurangan APD," ungkapnya.
Menurut Rivanlee, permohonan maaf dari pemerintah juga perlu dilakukan karena mereka tidak terbuka mengenai jumlah tenaga kesehatan yang meninggal saat menangani pendemi ini.
"Bagaimana negara menjamin mereka, apakah cukup dengan santun saja? Padahal kan ini soal nyawa gitu," terang dia.
Rivanlee juga melihat, selama ini negara bersikeras terhadap pendiriannya yang tak mengikuti rekomendasi para ilmuwan dan ahli kesehatan dalam menangani pendemi Covid-19 ini.
Hal ini terlihat dari pemerintah yang lebih memilih mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Bersekala Besar atau PSBB, padahal menurut Rivanlee, para ahli dari awal banyak yang menyarankan karantina wilayah.
Dia juga mengungkapkan bahwa ada beberapa tenaga kesehatan yang mengeluhkan kekurangan APD di rumah sakitnya justru mendapatkan intimidasi. "Karena saya mendapatkan informasi mas, beberapa tenaga kesehatan yang mengeluhkan APD-nya kurang itu ditekan oleh atasannya," kata dia.
Tindakan pengabaian seperti itu, menurut Rivanlee negara secara tidak langsung melakukan pelanggaran HAM terhadap para tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19.
"Negara telah melakukan pelanggaran HAM dengan pengabaian terhadap tenaga kesehatan yang gugur sampai hari ini," tegasnya.
Di pihak lain merespons kejadian tersebut, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanggulangan Covid-19, Achmad Yurianto mengaku belum mendapatkan data mengenai jumlah tenaga kesehatan yang meninggal karena melakukan penanganan pendemi Covid-19.
"Apakah semuanya meninggal karena menangani? Nanti saya cari dulu kebenarannya karena saya enggak mungkin berbicara katanya," tuturnya kepada Liputan6.com, Minggu (5/4/2020).
Advertisement