Pengamat Saran Keringanan Kredit Sebaiknya Hanya untuk UMKM

Pemerintah diharapkan fokus menyelamatkan UMKM.

oleh Tira Santia diperbarui 06 Apr 2020, 17:30 WIB
Pekerja menyelesaikan produksi kulit lumpia di rumah industri Rusun Griya Tipar Cakung, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM terus mendongkrak UMKM dengan menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga cukup rendah, yakni 6 persen. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita, menyarankan agar tagihan kredit usaha yang perlu ditanggung pemerintah sebaiknya untuk kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) saja.

“Kalau dilihat dari total kredit sampai awal 2020 versi OJK, yang berjumlah sekitar Rp 8000-an triliun, maka kredit buat UMKM dan usaha mikro hanya 19-20 persen aja, dan kebanyakan bukan datang dari Bank Buku IV, tapi justru oleh bank-bank buku III, II,  dan I (BPR),” kata Ronny dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Senin (6/4/2020).

Maka, menurut Ronny 20 persen dari total kredit adalah sekitar Rp 1.600 triliun. Sisanya adalah kredit korporasi (swasta dan Badan Usaha Milik Negara)  dan kredit konsumsi, yang banyak dijalankan oleh bank buku IV.

“Kita lupakanlah sesaat soal ketidakadilan perbankan ini, kita fokus pada penyelamatan UMKM. Besok-besok kalau udah mulai normal,  kita mulai ributkan soal ketidakadilan perbankan ini. Kita akan kupas lebih lanjut soal bagaimana mereka menciptakan uang melalui jejaring utang,  modal dengkul,” ujarnya.

Ronny, menegaskan bahwa cicilan kredit yang harus diberi bail out beberapa bulan cicilan adalah yang 20 persen ini.  Sisanya,  terutama korporasi, sudah waktunya mereka menunjukan keberpihakannya pada bangsa Indonesia.

Ia menyarankan untuk memberikan penalti jika mereka melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hanya karena berhenti berproduksi beberapa bulan, sementara modalnya masih banyak.

“Jangan hanya menganggap mereka nyumbang buat beli masker atau APD, urusan beres. Apalagi bank-bank besar buku III dan IV,  setiap tahun mereka membukukan keuntungan puluhan triliun,  maka sudah waktunya mereka berbagi. Terserah gimana mereka deal dengan korporasi dan BUMN yang banyak utang, intinya no PHK,” ujarnya.


Kredit Perumahan

Pengunjung melihat maket perumahan di pameran properti di Jakarta, Kamis (8/9). Dengan dilonggarkannya rasio LTV, BI optimistis pertumbuhan KPR bertambah 3,7%year on year (yoy) hingga semester I-2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selanjutnya, cicilan kredit perumahan menengah ke bawah, via Kredit Pemilikan Rumah (KPR) berbagai bank,  sekitar 2-3 bulan juga. Menurutnya, kredit perumahan aliasmortage ini menguras sebagian besar pendapatan pekerja.

Ditambah cicilan kendaraan sektor informal, terutama ojek online. Bisa dilakukan via kerjasama dengan aplikasinya,  yang modalnya terus menggunung dari investor.

“Lebihnya,  fokus ke jaring pengaman sosial,  stimulus untuk menjaga demand alias daya beli masyarakat menengah ke bawah. Lebih bagus berbentuk BLT atau cash transferr selama 2-3 Bulan,” pungkasnya.   

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya