Liputan6.com, Jambi - "Kami ketetakuton (kami ketakutan)," ujar Tungganai Basemen, seorang warga orang rimba atau suku anak dalam (SAD) Jambi. Ihwal ketakutan itu disampaikan Baseman kepada Antropolog KKI Warsi Robert Aritonang, saat memberikan penyuluhan tentang kesehatan bagi kelompok mereka, awal April 2020.
Nun jauh dari hiruk-pikuk, orang rimba ternyata sudah mendapat informasi tentang pandemi Corona Covid-19 yang telah menjadi perbincangan masyarakat di dunia. Ketakutan orang rimba atau suku anak dalam ini, kata Robert, bisa dimaklumi. Sebab, orang rimba selalu khawatir jika mendengar kata wabah atau lazimnya mereka sebut dengan istilah gelaba godong (sebuah wabah besar).
Baca Juga
Advertisement
Ketakutan dari Tungganai Basemen itu, menurut Robert, juga tidak berlebihan. Mengingat sebagian anggota kelompoknya Baseman tinggal di luar hutan, yakni di perumahan sosial yang dibangun permerintah di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Sehingga untuk menghindari pandemi itu tidak sedikit dari orang rimba yang bergeser tempat tinggal, menjauh ke dalam hutan. Kondisi ini terjadi sejak kedatangan tiga orang anak orang rimba yang baru pulang dari kota. Tiga anak orang rimba ini sekolah di kota, hanya saja karena sekolah dirumahkan mereka kembali ke orang tuanya.
Karena adanya pandemi ini, sebut Robert, anak-anak yang baru kembali itu harus dikarantina mandiri oleh kelompoknya di perumahan sosial selama 14 hari. Sedangkan orang rimba yang tadinya tinggal di perumahan, mereka masuk kembali ke hutan.
"Orang rimba sangat takut wabah, meski sudah bertahun-tahun tidak ketemu anaknya, dan ketika kembali mereka secara sadar melakukan pemisahan dan memilih untuk tidak bertemu dulu dengan anaknya yang baru datang itu," kata Robert lewat keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Rabu (8/4/2020).
Orang rimba yang kembali masuk ke hutan itu tidak tinggal secara berkelompok seperti biasanya. Mereka memilih menyebar di dalam hutan dengan membuat jarak antar-sudung (pondok) sejauh 500 meter hingga 1 kilometer. Pemisahan jarak pondok itu diyakini akan membentengi mereka dari wabah gelaba godong.
Ketakutan akibat pandemi itu juga dirasakan orang rimba yang tinggal di perumahan sosial orang rimba di Desa Air Panas Kecamatan Air Hitam, Sarolangun. "Ada beberapa orang rimba yang tadinya tinggal di perumahan sosial itu, mereka untuk sementara waktu memilih membuat pondok di perkebunan, tidak berkelompok," kata Anggun selaku fasilitator orang rimba KKI Warsi.
Demikian pula dengan orang rimba di kelompok Terap yang sementara waktu memilih masuk ke dalam hutan meninggalkan aktivitas di tengah masyarakat. Interaksi yangsudah sangat dekat dengan masyarakat desa, menjadikan orang rimba juga mudah mendapatkan informasi tentang pandemi ini.
Orang rimba yang tinggal di sekitar kawasan hutan, perkebunan dan desa-desa terdekat, tentu mempunyai peluang untuk terpapar. Berdasarkan survei KKI Warsi (2018) jumlah populasi orang rimba di Jambi mencapai 5.235 jiwa.
"Dengan nilai dan tananan sosial yang mereka miliki, kelompok orang rimba juga berusaha terlibat aktif dalam pencegahan penyakit ini," kata aktivis KKI Warsi, Sukmareni.
Simak Video Pilihan Berikut Ini
Metode Karantina dan Jaga Jarak ala Orang Rimba
Orang rimba telah memiliki kearifan lokal untuk mengarantina jika ada suatu wabah di kelompok mereka. Metode karantina itu mereka menyebutnya dengan istilah bersesandingon atau memisahkan orang yang sakit dengan orang bungaron alias orang yang sehat.
Misalnya, jika salah satu dari orang rimba terserang penyakit seperti batuk, pilek (selemo), muntaber (muntah bingguk), cacar air, campak (campok), muntah darah, diare dan penyakit menular lainnya, komunitas orang rimba dengan cepat segera membuat pemisah agar tidak menulari kelompok orang rimba yang sehat.
Cara bersesandingon itu merupakan kearifan lokal atau cara alami yang ditempuh orang rimba untuk mengkarantina diri supaya terhindar dari penularan penyakit. Orang yang sakit posisinya ketika dipisahkan itu disebut bercenenggo.
Dalam sebuah literatur, KKI Warsi yang merupakan organisasi nirlaba pemerhati lingkungan dan orang rimba menulis, dalam aturan karantina orang rimba yang disebut dengan istilah sesandingon dan cemenggo ini tidak hanya berlaku ketika ada penyakit menular.
Melainkan aturan ini juga berlaku ketika ada orang rimba yang melakukan perjalanan ke luar rimba. Saat ingin kembali ke keluarganya di rimba yang bersangkutan kena pasal sesandingon selama tiga hari.
"Aturan ini juga berlaku jika ada tamu dari luar datang. Orang rimba akan menunjuk tempat yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah terluar mereka untuk tempa bermukim sementara. Setelah tiga hari, jika tamu tidak sakit maka diizinkan untuk berkunjung ke kelompok mereka," tulis Warsi.
Sementara itu, untuk berkomunikasi dengan keluarga yang sakit, orang rimba menerapkan jaga jarak yang ketat. Saat berkomunikasi itu minimal mereka akan menjaga jarak hingga 10 meter, istilah jaga jarak ini disebut dengan bersesalungon atau bicara jarak jauh dengan intonasi yang keras. Bersesalungon dilakukan orang rimba untuk menghindari penularan penyakit.
Aturan kearifan lokal untuk menghentikan wabah yang lahir dari kehidupan orang rimba ini sudah dijalankan dan ditaati mereka sejak zaman nenek moyang mereka, jauh sebelum ada UU Karantina Kesehatan dan juga imbauan jaga jarak yang digulirkan pemerintah.
Proses karantina dan isolasi penyakit yang dilakukan orang rimba itu sejalan dengan praktik penghentian penyakit menular seperti virus corona yang saat ini sedang menjadi wabah global.
Kini di tengah pandemi Covid-19, sudahnya saat kita mengikuti aturan yang dianjurkan pemerintah supaya jaga jarak, beraktivitas di rumah, menghindari kerumunan. Itu semua dilakukan untuk mencegah penyebaran virus penyakit, sebagaimana praktik yang telah dilakukan orang rimba sejak zaman dulu itu.
Advertisement