Liputan6.com, Jakarta - Gunung Anak Krakatau kembali erupsi pada Jumat (10/4/2020) sekitar pukul 22.35 WIB. Data Pusat Vukanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG) menyebut, semburan abu vulkanik terpantau mencapai 675 meter. Erupsi tersebut terekam dalam seismogram dengan amplitudo maksimum 40 mm.
Berdasarkan pantauan kamera pengawas atau CCTV pada pos pemantauan Gunung Anak Krakatau, abu vulkanik berwarna hitam dan abu-abu itu bergerak ke arah timur dengan ketinggian sekitar 500 meter dari dasar kawah.
Advertisement
PVMBG menyebutkan tingkat aktivitas gunung yang terletak di Selat Sunda itu berada pada level II atau waspada.
Daryono, Kabid Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (11/4/2020) mengatakan, asil monitoring muka laut menggunakan tide gauge di pantai Kota Agung, Pelabuhan Panjang, Binuangen, dan Marina Jambu menunjukkan tidak ada anomali perubahan muka laut sejak 10 April 2020 pukul 22.00 tadi malam hingga pagi ini 11 April 2020 pukul 5.00 WIB.
Hasil monitoring muka laut menggunakan Radar Wera yang berlokasi di Kahai, Lampung dan Tanjung Lesung, Banten juga menunjukkan tidak ada anomali muka laut sejak 10 April 2020 pukul 22.00 tadi malam hingga pagi ini 11 April 2020 pukul 5.00 WIB.
"Sehingga berdasarkan monitoring muka laut yang dilakukan BMKG menggunakan Tide Gauge dan Radar Wera menunjukkan bahwa erupsi Gunung Anak Krakatau tadi malam pada tanggal 10 April 2020 pukul 21.58 WIB tidak memicu terjadinya tsunami," katanya.
[bacajuga:Baca Juga](4224795 4224792)
Tak hanya Gunung Anak Krakatau, erupsi juga terjadi di beberapa gunung lainnya di Sumatera dan di Pulau Jawa. Aplikasi Magma Indonesia menunjukan gunung-gunung lain yang mengalami erupsi dan peningkatan status antara lain, Gunung Kerinci (Level II, Waspada), Anak Krakatau (Level II, Waspada), Merapi (Level II, Waspada), dan Semeru (Level II, Waspada), serta dua gunung lain di Maluku.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Aktivitas Kegempaan
Apakah ada keterkaitan erupsi gunung-gunung yang hampir bersamaan tersebut dengan aktivitas kegempaan Lempeng Sunda, yang menjadi bagian kecil Lempeng Eurasia? Daryono menjelaskan, hasil monitoring kegempaan yang dilakukan BMKG tepat pada saat terjadinya erupsi, yaitu pukul 21.58 WIB dan pukul 22.35 WIB menunjukkan, sensor BMKG tidak mencatat adanya aktivitas seismik. Sehingga erupsi Gunung Anak Krakatau kali ini berdasarkan catatan sensor BMKG lebih lemah dibandingkan erupsi yang terjadi pada 22 Desember 2018 lalu.
Ada satu hal menarik terkait hasil monitoring seismik oleh BMKG di mana pada pukul 22.59 hingga 23.00 WIB, beberapa sensor seismik BMKG baik eksisting dan sensor baru yang dipasang tahun 2019 mencatat adanya event gempa di Selat Sunda. Sensor seismik BMKG tersebut adalah (1) CGJI (Cigeulis, Banten), (2) WLJI (Wonosalam, Banten), (3) PSSM (Pematang Sawah, Lampung), (4) LLSM (Limau, Lampung), (5) KASI (Kota Agung, Lampung), (6) CSJI (Ciracap, Jawa Barat), dan (7) KLSI (Kotabumi. Lampung)
Hasil analisis BMKG terkait gempa tersebut menujukkan telah terjadi gempa tektonik di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB dengan magnitudo M 2,4 episenter terletak pada koordinat 6,66 LS dan 105,14 BT, tepatnya di laut pada jarak 70 km arah Selatan Baratdaya Gunung Anak Krakatau pada kedalaman 13 km.
Advertisement
Terkait Dentuman
Terkait suara dentuman yang beberapa kali terdengar dan membuat resah masyarakat Jabodetabek, tidak bersumber dari aktivitas gempa tektonik. Hasil monitoring BMKG menunjukkan tidak terjadi aktivitas gempa tektonik yang kekuatannya signifikan di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Provinsi Banten.
Meskipun ada aktivitas gempa kecil di Selat Sunda pada pukul 22.59 WIB dengan magnitudo M 2,4 tetapi gempa ini kekuatannya tidak signifikan dan tidak dirasakan oleh masyarakat.
Daryono mengatakan, pendapat Surono ahli Vulkanologi yang diunggah di channel youtube Andromeda Mercury perlu dipertimbangkan. Dalam video tersebut Surono mengatakan, dirinya tidak tahu betul dari mana sumber dentuman tersebut berasal. Saat kondisi sepi sekali akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar, bisa saja suara yang tidak biasa terdengar menjadi terdengar. "Bisa saja seperti itu," katanya.
"Kecepatan suara bergantung pada kerapatan udara, tekanan udara di satu tempat. Saya kemungkinan masih mempercayai (suara dentuman) dari Anak Krakatau, sumber lain apa coba?," katanya.