Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui pemberian insentif pajak dan stimulus sebagai upaya untuk menekan dampak pandemi Coronavirus Diseases 2019 (COVID-19), menjadi angin segar bagi dunia usaha. Harapannya, dunia usaha tidak terpuruk pasca pandemi dan perekonomian Indonesia bisa tetap stabil.
Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad melihat kebijakan pelonggaran pajak merupakan langkah yang tepat.
Advertisement
“Dalam situasi sekarang memang dibutuhkan relaksasi pajak perseorangan maupun badan, namun besarannya jangan sampai terlalu menggerus penerimaan negara,” kata Tauhid saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (13/4/2020).
Sebelumnya pemerintah telah memberikan relaksasi pajak melalui penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2020.
Kebijakan fiskal lainnya yakni pembebasan PPh Pasal 21 untuk pekerja di beberapa sektor usaha tertentu seperti sektor manufaktur dan pariwisata dengan penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun.
Ditambahkan Tauhid, karena terjadinya kekurangan penerimaan negara (shortfall) dari sektor pajak lebih dari Rp400 triliun, negara tentu mengharapkan penerimaan negara dari sektor lainnya tidak berkurang, seperti dari cukai misalnya.
Jika dilihat dari skenario pemerintah, penerimaan cukai dari Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai kontributor utama turun sedikit dari target yakni sebesar Rp173 triliun menjadi Rp165,6 triliun.
“Nilai ini masih lumayan dalam menyumbang penerimaan negara,” ungkap Tauhid.
Respon cepat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengeluarkan kebijakan relaksasi untuk IHT, meliputi pelayanan dan pengawasan cukai hingga survei harga pasar dapat menjadi penopang di tengah situasi usaha yang sulit.
“Saya kira kebijakan ini perlu dilakukan demi perlindungan terhadap pegawai, baik DJBC maupun pelaku industri di tengah situasi Covid-19,” ujar Tauhid.
Likuiditas Perusahaan Membaik
Lebih lanjut Tauhid menjelaskan, pelonggaran pajak akan meningkatkan likuiditas perusahaan sehingga dana tersebut dapat digunakan untuk membayar upah pekerja meskipun produksi atau omset berkurang karena dampak pandemi.
“Paling tidak keputusan ini dapat mendorong perusahaan untuk tidak ikut-ikutan melakukan PHK terhadap karyawannya di tengah situasi ekonomi yang cenderung memburuk,” tambah Tauhid. Perusahaan yang tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tetap membayar kewajiban tunjangan hari raya (THR) dinilai sangat berarti bagi buruh/pekerja untuk memiliki daya beli selama pandemi.
Selain itu, Tauhid menambahkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan stimulus tambahan untuk mencegah pelaku usaha melakukan PHK terhadap pekerja/buruh. “Tentu saja yang paling memungkinkan adalah skema pinjaman dengan bunga rendah tetapi tetap prudent, transparan, dan akuntabel,” katanya.
Jika dampak pandemi menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan dan penghasilannya, kata Tauhid, pemerintah sebaiknya menyiapkan kebijakan pemberian jaminan sosial. “Hal ini berlaku juga pada pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan pelaku sektor informal,” ujar Tauhid.
Advertisement