Kisah Ustazah dari Singapura yang Berhasil Sembuh dari Infeksi Flu Burung dan Corona COVID-19

Ustazah Nadia Rahim dari Singapura mengaku sempat bepergian ke Jakarta sebelum beberapa hari kemudian dinyatakan positif corona COVID-19.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 14 Apr 2020, 01:03 WIB
Gambar ilustrasi diperoleh pada 27 Februari 2020 dengan izin dari Food and Drug Administration AS menunjukkan Virus Corona COVID-19. (US Food and Drug Administration/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Seorang perempuan Singapura mencetak sejarah untuk dirinya sendiri. Ia berhasil selamat dari bayang-bayang kematian saat terinfeksi flu burung H1N1. Sebelas tahun kemudian, ia juga selamat dari infeksi corona COVID-19.

Ustazah Nadia Hanim tidak pernah menyangka bakal mengalami pengalaman tersebut hingga dua kali. Guru agama berusia 36 tahun itu dinyatakan positif COVID-19 pada 13 Maret 2020 dan menjadi kasus ke-203.

Dikutip dari laman AsiaOne.com, Senin (13/4/2020), Nadia mengaku mulai tidak enak badan pada 11 Maret 2020 malam, tepat saat ulang tahun putrinya yang ke-4. Tiga hari sebelumnya, ia baru kembali dari kunjungan kerja ke Jakarta.

Ia demam, kepalanya berdenyut-denyut, dan tubuhnya sakit. Hari berikutnya, suhu tubuhnya mencapai 39,2 derajat Celcius. Ia nyaris tak bisa bernapas.

Akhirnya, Nadia yang mengidap asma memutuskan pergi ke Changi General Hospital. Pada 13 Maret 2020, hasil tes swabnya menunjukkan positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 alias positif COVID-19.

"Aku merasa kebas, tercengang, kehilangan kata-kata," kata ibu dua anak yang berusia empat dan delapan tahun itu.

"Saya tak panik, tapi pikiranku seperti sedang berlomba. Saya berusaha mengingat orang-orang yang telah kontak dekat denganku. Yang kupikirkan pertama kali adalah anak-anakku dan suamiku," sambungnya.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.


Teringat Pengalaman Lalu

Nadia Hanim, korban sembuh infeksi COVID-19. (dok. Instagram @nadia.hanim.ar/https://www.instagram.com/p/B9OZehkhaIH/Dinny Mutiah)

Vonis itu mengingatkan kembali Nadia saat berjuang melawan penyakit flu burung pada 2009 lalu. Ia terbangun dengan kondisi tak bisa bernapas setelah mengalami gejala flu selama beberapa hari sebelumnya.

"Saya pikir  itu hanya flu biasa," ujar Nadia yang saat itu merasa mimpi tenggelam. "Saya bangun dengan berusaha menghirup udara. Saat itu yang saya pikir paru-paru saya tidak berfungsi."

Selanjutnya, saudarinya yang tinggal dalam ruangan bersama meminta pertolongan ayah mereka untuk membawa Nadia ke Changi General Hospital. Rumah sakit itu yang terdekat dari rumah mereka.

Bibirnya dengan cepat membiru karena kekurangan oksigen. Ia antara sadar dan tidak saat itu. Ia merasa berada di jurang kematian dalam perjalanan ke rumah sakit.

"Aku benar-benar berpikir tak akan selamat. Dalam perjalanan ke sana, saudariku terus menggosok punggungku dan berteriak pada ayahku untuk menyetir lebih cepat karena 'kakak tak akan selamat'," kata dia.

"Paru-paruku rasanya terbakar, mataku berlinang air mata. Aku terengah-engah, mencoba keras untuk mendapatkan udara. Dalam pikiranku, aku berkata pada Tuhan aku siap bila hidupku berakhir," ujar Nadia mengenang masa sulitnya kala itu.

Saat mobil yang ditumpanginya akhirnya sampai di rumah sakit, tenaga medis bergegas membawanya masuk dengan kursi roda dan mengecek suhu tubuhnya. Sebelum pingsan, ia sempat mendengar salah seorang dari mereka menyebut suhu tubuhnya saat itu 43 derajat Celcius.

"Aku tak ingat apapun lagi setelahnya," ujar Nadia yang belakangan dinyatakan positif H1N1 dan ditempatkan di bangsal isolasi. "Bangsal yang aku terlihat sama dengan yang aku tempat sekarang," sambung dia.

Nadia akhirnya membutuhkan ventilator agar bisa bernapas dan dia keluar setelah dirawat hampir dua minggu di rumah sakit. Sejak itu, setiap kali merasa tak enak badan, ia langsung mencari pertolongan medis.

Pada 2009, H1N1 menjadi pandemi global. Lebih dari 400 ribu orang di Singapura terjangkit kurang dari setahun. Sebanyak 20 orang meninggal karenanya.

 

 


Masuk Ruang Isolasi Tanpa Persiapan

Nadia Hanim, korban sembuh infeksi COVID-19. (dok. Instagram @nadia.hanim.ar/https://www.instagram.com/p/B7S2EpdBBvf/Dinny Mutiah)

Kembali ke masa kini, Nadia kembali menjalani tes X-ray. Hasilnya, paru-paru Nadia terlihat ada bercak. Ia pun kembali dimasukkan ke ruang isolasi.

"Saya tak terkejut karena paru-paruku selalu lemah, tapi aku tak menyangka itu COVID-19 sama sekali," kata Nadia. "Aku tak bawa apapun karena aku pikir akan segera ke luar (dari rumah sakit)."

Nadia masuk daftar kasus impor karena ia sempat pergi ke Jakarta antara 6--8 Maret. Tapi, ia tak tahu ia tertular dari siapa atau bagaimana ia bisa tertular karena yang kontak dekat dengannya semua sehat.

"Saya merasa bersalah. Saya tidak tahu bagaimana menyampaikan kabar ini kepada suamiku. Saya akhirnya mengontaknya dan dia tetap  tenang," tutur Nadia sambil meminta suaminya tetap di rumah menjaga anak-anak mereka.

Ia saat itu terus meminta maaf kepada suaminya karena tak tahu harus mengatakan apa lagi. "Lalu, dia berkata, 'Jangan khawatir tentang kami. Fokuslah agar bisa sembuh,'" ujarnya.

Keluarga kecilnya, termasuk dua anaknya, akhirnya menjalani karantina mandiri hingga 26 Maret 2020. Selama masa karantina itu, anggota keluarga dan teman-temannya membantu berbelanja.

"Ketakutan terbesarku adalah anak-anakku terinfeksi. Aku terus berdoa untuk keselamatan mereka," kata Nadia yang terbiasa tidur dengan anak-anak di  tempat tidur yang sama.

Beruntung, anggota keluarganya dinyatakan negatif COVID-19. Namun, ia merasa sedih karena tak bisa memeluk anak-anaknya. Ia hanya bisa melihat mereka lewat layar ponsel.

"Anak tertuaku bertanya kapan aku pulang, tetapi ia sebenarnya sadar akan situasinya. Sementara, anak bungsuku tidak berkata banyak, ia hanya tersenyum ke arah kamera dan membiarkan kakaknya untuk berbicara," ujarnya.

 

 


Terima Kasih

Nadia Hanim, korban sembuh infeksi COVID-19. (dok. Instagram @nadia.hanim.ar/https://www.instagram.com/p/B5uYrQ6hyjq/Dinny Mutiah)

Nadia mengaku merasa hari-hari pertama dirawat sangat panjang. Ia pun memanfaatkannya untuk merefleksi diri. "Saya punya banyak waktu untuk diri sendri. Jadwalku sangat padat. Saya selalu pergi dan jarang memiliki waktu sendiri," ujarnya.

Selama minggu pertama masuk, lebih banyak gejala yang dialaminya. Ia mengalami demam, sesak napas, dan diare. Badannya juga nyeri.

"Aku berguling-guling di tempat tidur menahan sakit," kata dia. 

Dua minggu kemudian, Nadia akhirnya berhasil sembuh. Pada 29 Maret, ia keluar rumah sakit setelah hasil tes swabnya dinyatakan negatif.

Saat keluar dari rumah sakit, sang suami sudah menunggunya. Mereka pulang naik taksi. Yang dipikirkan selama perjalanan pulang adalah memeluk anak-anaknya. 

"Tapi aku juga merasa takut. Aku tahu aku telah sembuh, tapi aku pikir apakah harus menunggu beberapa hari lagi sebelum memeluk mereka," kata Nadia.

Saat sampai di rumah, anak-anak Nadia langsung melompat-lompat senang. "Aku ingin menangis. Aku membersihkan diriku dan mendekati mereka walau tetap menjaga jarak. Aku tahu aku harus melakukannya dalam satu waktu," tutur Nadia.

Nadia yang akhirnya memeluk dan menciumi anak-anaknya akhirnya berbagi pengalaman sembari memberi saran agar orang-orang tak menganggap enteng penyakit itu.

"Ini mengkhawatirkan karena ada lebih banyak kasus yang tak berkaitan," ujarnya. "Virus ini bisa ada di manapun dan siapapun." Ia juga berterima kasih kepada 35 tenaga medis yang ditemuinya selama dirawat. Ia mengaku mereka tak sekalipun membuatnya tak nyaman karena ia mengidap COVID-19.

"Tenaga medis yang tak egois ini juga memiliki orang-orang yang menunggu mereka di rumah. Mereka, juga pasti khawatir tertular virus tetapi mereka tak menunjukkannya. Aku ingin mengingat seluruh nama mereka, dan tak hanya perawat atau dokter. Mereka layak diingat atas pengorbanan mereka," ujarnya lagi.


Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya