Liputan6.com, Jakarta Langkah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diprediksi akan terus bertambah. PHK dinilai bukan semata-mata akibat pandemi COVID-19, tapi melihat kondisi perusahaan.
Ketua Bidang UKM dan Start-Up HIPMI Jaya, Diatce G Harahap membenarkan pandemi virus corona (COVID-19) telah memukul dunia usaha terutama di DKI Jakarta dan sekitarnya yang selama ini menjadi episentrum.
Kebijakan relaksasi merupakan salah satu solusi yang ditawarkan HIPMI Jaya mulai keringanan pajak makanan dan minuman (PB1) maupun Pajak Penghasilan (PPh21) serta 'grace period" (masa tenggang) untuk pinjaman selama pandemi belum berakhir.
Sektor UMKM merupakan salah satu yang terkena dampak dari wabah ini. Wabah kemudian memaksa Pemprov DKI Jakarta melakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Baca Juga
Advertisement
Salah satu yang dapat dilihat dengan adanya penutupan sementara pusat perbelanjaan serta hanya mengoperasikan supermarket untuk kebutuhan sehari-hari meski bersifat sementara tentunya hal itu memukul pekerja yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sektor ritel.
Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) mengakui PHK yang terjadi memang tidak dapat dihindari meskipun demikian persoalan itu sebenarnya dapat terhindarkan. Butuh terobosan dan inovasi agar sektor usaha tetap berjalan di tengah pandemi.
Direktur Indeks Nanang Sunandar seperti melansir Antara, Senin (13/4/2020), mengatakan isi dari RUU Cipta Kerja yang tengah digodok di DPR RI sebenarnya bisa menjadi solusi ketika sektor usaha tengah mengalami kesulitan.
RUU Cipta Kerja memiliki ciri terobosan. RUU ini mendesak segera dibahas dan disahkan agar lebih leluasa mengatasi dampak pandemi virus corona terhadap pelambatan ekonomi Indonesia dan dunia pada umumnya.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang saat ini diberlakukan di banyak negara untuk meredam penyebaran COVID-19, sebenarnya tidak hanya memukul ekonomi nasional tetapi juga sebagian besar aktivitas ekonomi global.
Dampak langsungnya ialah meningkatnya jumlah pengangguran, yang diprediksi ILO dalam "COVID-19 and the World of Work" pada Maret, akan mencapai 212,7 juta orang pada 2020, bertambah 24,7 juta dari 188 juta pengangguran global pada 2019.
Di Indonesia, pelambatan ekonomi tercermin pada proyeksi Bank Dunia untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020, yang diproyeksikan menukik tajam hingga menyentuh angka 2,1 persen (The World Bank, East Asia and Pacific in the Time of COVID-19, April, 2020).
Hasil kajian Indeks menunjukkan, tingkat pertumbuhan ekonomi 2,1 persen ini akan menambahkan sekitar 900 ribu pengangguran baru sehingga total jumlah pengangguran diperkirakan meningkat dari 7,05 juta pada 2019 menjadi 7,95 juta pada 2020.
Pengesahan RUU Cipta Kerja dalam situasi pandemi dinilai mendesak dalam konteks struktur tenaga kerja Indonesia yang didominasi sektor informal dan tingginya jumlah angkatan kerja yang bekerja tidak penuh atau kurang dari 35 jam seminggu.
Berdasarkan analisis atas karakteristik angkatan kerja 2019, dari total angkatan kerja yang tidak tercatat menganggur, terdapat jumlah pekerja sektor informal sebanyak 75,9 juta (59,99 persen) dan pekerja tidak penuh sebanyak 36,54 juta (28,88 persen).
Kedua kelompok ini, yakni pekerja sektor informal dan pekerja tidak penuh, rentan kehilangan pekerjaan, terlebih ketika ekonomi mengalami krisis.
Sebelum pandemi, dengan ekonomi tumbuh rata-rata 5, 41 persen per tahun pada periode 2010-2019, jumlah lapangan kerja baru yang tercipta rata-rata 2,34 juta per tahun atau 433 ribu lapangan kerja baru untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi.
Dengan pertumbuhan ekonomi 2,1 persen, jumlah lapangan kerja baru yang tercipta pada 2020 diperkirakan sekitar 908 ribu. Dengan jumlah angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan, dengan asumsi pertumbuhan angkatan kerja rata-rata 2,24 juta per tahun, akan berada pada kisaran 135,8 juta orang.
Jumlah angkatan kerja yang beruntung mendapatkan pekerjaan diperkirakan hanya sekitar 133,2 juta. Sedangkan 7,95 juta sisanya terancam menganggur.
Deregulasi
Ancaman lonjakan pengangguran ini bisa diatasi antara lain melalui deregulasi peraturan-peraturan yang selama ini membuat ekosistem ketenagakerjaan nasional cenderung kaku dan tertutup.
Lebih luasRUU Cipta Kerja diharapkan membuka ruang luas bagi terciptanya lapangan kerja baru hingga tiga juta per tahun dalam iklim pasar kerja yang lebih terbuka dan fleksibel.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah lapangan kerja baru yang rata-rata tercipta setiap tahun sebelum terjadinya pandemi COVID-19.
Di samping itu, RUU Cipta Kerja mengandung pasal-pasal terkait perlindungan yang lebih komprehensif terhadap pekerja informal dan pekerja tidak penuh. Misalnya, dalam bentuk pelatihan dan manfaat bagi mereka yang mengalami PHK.
Menurut Sunandar, kebijakan baru ini juga memberikan kepastian hukum bagi para pekerja informal dan pekerja tidak penuh dari potensi kesewenang-wenangan pemberi kerja, hal yang kerap diabaikan dalam ekosistem ketenagakerjaan sekarang.
Urgensi pengesahan RUU Cipta Kerja dalam konteks situasi pandemi COVID-19 berkaitan erat dengan visi kebebasan ekonominya yang akan meningkatkan kebebasan berinvestasi, kemudahan membuka dan mengembangkan bisnis dan partisipasi dalam pasar yang terbuka dan kompetitif.
Selain akan meningkatkan arus dan efektivitas investasi dalam penciptaan lapangan kerja, visi kebebasan ekonomi ini akan menggairahkan iklim kewirausahaan di kalangan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.
Dengan visi ini, UMKM dan koperasi dapat meningkatkan produktivitas dan daya saingnya sehingga dapat melakukan ekspansi bisnis dan tentu saja, menyerap lebih banyak tenaga kerja baru.
Advertisement