Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior Faisal Basri mengkritisi beberapa poin dalam Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba).
Sorotan utama ia tujukan pada beberapa pasal yang memberikan keringanan bagi pengusaha batu bara nasional untuk memperbesar pemasukan uang untuk kantong perusahaan.
Advertisement
Seperti pada Pasal 169B, dimana pemegang Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) diberi kelonggaran permohonan kontrak dari sebelumnya 2 tahun (paling cepat) dan 6 bulan (paling lambat) menjadi 5 tahun (paling cepat) dan 1 tahun (paling lambat).
Faisal menilai, aturan tersebut memberi keleluasaan kepada 6 perusahaan tambang pemegang KK yang menguasai hampir 70 persen produksi batu bara dalam negeri. Adapun kontrak karya keenam perusahaan tersebut salah satunya ada yang akan berakhir di 2025.
"Jadi mereka tampaknya mengantisipasi pergantian rezim, mereka sudah investasi di rezim sekarang. Tadi kan ada yang (masa kontraknya habis) 2025 ya, mereka ingin diperpanjangnya di periode sekarang," ujar dia dalam sesi teleconference bersama INDEF, Rabu (15/4/2020).
Menurut Faisal, pasal karet dalam RUU Minerba ini justru akan semakin mempermudah 6 perusahaan tambang tersebut untuk mengeruk pundi-pundi uangnya dari kekayaan alam Indonesia.
Mereka yang dekat dengan kekuasaan disebutnya akan semakin mudah merogoh miliaran dolar dari ekspor batu bara yang jadi penyetor devisa terbesar negara.
"Oleh karena itulah tidak heran kalau perusahaan terbesar batu bara kian hari kian mencengkeram politik di Indonesia. Mereka yang menentukan siapa yang presiden, siapa yang gubernur, siapa yang bupati/walikota, sehingga demokrasi di Indonesia jalan, tapi sebetulnya pengendalinya adalah para taipan-taipan batu bara ini," cibirnya.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Omnibus Law Bakal Tumpang Tindih dengan RUU Minerba?
Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ke-8 telah mensahkan RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) bersama dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai RUU Prioritas di antara 50 RUU dalam Prolegnas prioritas tahun 2020.
Saking prioritasnya, Komisi 7 DPR RI sampai membentuk Panitia Kerja (Panja) khusus yang membahas revisi RUU Minerba.
Namun yang tidak boleh dilupakan ialah dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja terdapat pula peraturan tentang sektor pertambangan yang mungkin akan menimbulkan pertanyaan: apakah akan tumpang tindih dengan RUU Minerba yang sedang dikebut revisinya?
Mengutip Policy Brief Omnibus Law dan Catatan Proses Perumusan Undang-Undang di Sektor Pertambangan, yang diterima Liputan6.com, Senin (24/02/2020), tertulis bahwa dua RUU ini memiliki kesamaan dalam menghapus maupun menambahkan pasal yang ada di UU yang sama.
"Pasal yang akan dihapus, diubah atau ditambahkan terdapat di UU yang sama, yaitu UU Minerba Nomor 4/2009. Pasal mana yang akan diselesaikan oleh revisi UU Minerba? Pasal Mana yang akan digarap di RUU Omnibus Law?" demikian dikutip dari kolom poin 4, "RUU Minerba vs RUU Cipta Kerja, Mana yang Lebih Prioritas?".
Advertisement
Rawan Tumpang Tindih
Lebih lanjut, muncul kekhawatiran lain, bagaimana jika ada pasal dari RUU Minerba dan berkaitan dengan sektor lain di RUU Omnibus Law, seperti di sektor kelautan, lingkungan hidup, energi kelistrikan, dan lainnya?
"Proses yang berulang (redundant) dan dikhawatirkan tumpang tindih (overlapping) ini tentu akan berpengaruh pada kualitas RUU yang dihasilkan nantinya," demikian tertulis dalam catatan tersebut.
Oleh karenanya, proses pembahasan dua RUU ini harus dijalankan secara transparan, partisipatif dan berkualitas baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Pembahasan RUU yang berkualitas akan memiliki nilai prioritas dan integrasi yang lebih baik serta tentu berpengaruh pada efisiensi pembahasan serta efektifitas pelaksanaan regulasi tersebut nantinya.