Faisal Basri: Revisi UU Minerba Jadi Karpet Merah Bagi Pengusaha Batubara

Seharusnya pembahasan RUU Minerba bisa ditunda hingga masa wabah Covid-19 berakhir.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Apr 2020, 17:45 WIB
(Foto:Dok.Pelindo III)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Faisal Basri menilai revisi Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan RUU Ombnibu Law Cipta Kerja bak karper merah bagi para pengusaha tambang batu bara. Pembahasan dua aturan ini dikebut pemerintah dan DPR di tengah penanganan wabah virus corona.

"Karpet merah digelar lagi dengan diangkatnya revisi UU Minerba inisitif DPR," kata Faisal dala diskusi visual bersama para peneliti INDEF di channel Youtube INDEF, Jakarta (15/4).

Faisal menilai seharusnya pembahasan dua undang-undang tersebut bisa ditunda hingga masa wabah Covid-19 berakhir. Sebab dia melihat satu-satunya kedaruratan pembahasan ini karena ada 6 kontrak karya akan segera berakhir.

Masing-masing kontrak karya akan habis dalam waktu dekat. Ada yang akan habis di tahun ini, tahun 2021 dan tahun 2022. Faisal menyebut, enam perusahaan batu bara tersebut menguasai 70 persen dari ekspor batu bara Indonesia.

"Keenam perusahaan PKP2B ini menguasai 70 persen produksi nasional," kata Faisal.

Adapun enam perusahaan yang dimaksud yakni PT Arutmin Indonesia di Kalimantan Selatan seluar 57.107 hektar. Perusahaan ini akan habis kontrak pada 1 November 2020. PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur seluas 84.938 hektar. Akan habis kontrak pada 13 September 2022.

PT Multi Harapan Utama di Kalimantan Timur seluas 39.972 hektar. Akan habis kontrak pada 1 April 2022. PT Adaro Indonesia di Kalimantan Selatan seluas 31.380 hektar. Perusahaan ini habis kontrak pada 1 Oktober 2022.

PT Kideco Jaya Agug di Kalimantan Timur seluas 47.500 hektar. Akan habis kontrak pada 13 Maret 2023. PT Berau Coal di Kalimantan Timur seluas 108.009 hektar yang akan habis kontrak pada 26 April 2025.

Lebih jauh dia mengatakan banyak pejabat tinggi negara di pusaran kekuasaan memiliki konsesi dengan perusahaan batu bara. Selain itu mereka juga memiliki kedekatan dengan pengusaha besar di sektor ini.

Perpanjangan kontrak kerja pun tak lagi lewat sistem lelang. Tiap perusahaan bisa langsung mengajukan izin perpanjangan. Bahkan izin perpanjangan kontrak kerja tak lagi diajukan selama 2 tahun, melainkan hingga 5 tahun.

"Kalau tahun 2025 kan rezim sudah berubah, jadi tahun 2020 sudah bisa diurus perpanjangannya," kata Faisal.

 


Produksi Batu Bara

Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Singkatnya, Faisal menyebut RUU Omnibus Law Cipta Kerja memberikan karpet merah dan cukup menggiurkan bagi bisnis batu bara. Sebab, tahun 2019 tercatat produksi batu bara Indonesia dalam setahun mencapai 616 juta ton.

Dia menyebut produksi di tahun lalu merupakan capaian tertinggi dalam sejarah. Pada tahun yang sama nilai ekspor batu bara mencapai USD 19 miliar. Tidak ada komoditas lain seklaipun kepala sawit yang bisa menyaingi.

Dalam UU Minerba yang saat ini berlaku kata Faisal, jika perusahaan telah habis kontrak maka prosesnya dikembalikan ke pemerintah. Selanjutnya pemerintah akan melelang proyek tersebut. Perusahaan yang sama pun diperbolehkan untuk ikut mengikuti lelang tersebut,

Bila dimenangkan oleh perusahaan yang sama sebaiknya dibuka beberapa kesepakatan baru. Jika diperlukan pemerintah dapat mengajukan kesepatakan agar perusahaan yang kembali mendapatkan proyeknya menyisihkan keuntungan sebesar 10 persen untuk penanganan dampak wabah virus corona. Sehingga pemerintah tidak perlu melakukan global bond senilai USD 4 miliar.

"Kalau perlu sisihkan untuk pendanaan covid sehingga tidak perlu berutang. Bukan mereka yang memanfaatkan Covid-19 untuk memperkuat cengkraman mereka atas negeri ini," kata Faisal mengakhiri.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya