Pindah-Pindah Kewenangan Perizinan dalam UU Minerba

Dalam draf revisi UU Minerba terdapat masalah desentralisasi dalam pemberian izin pertambangan. Ini terdapat pada pasal 4, 7 dan 8.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Apr 2020, 19:20 WIB
Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam draf revisi UU Minerba tersebut ada sejumlah pasal yang dianggap perlu dikritisi.

Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya, mengatakan bahwa dalam draf revisi UU Minerba terdapat masalah desentralisasi dalam pemberian izin pertambangan. Ini terdapat pada pasal 4, 7 dan 8.

"Pasal-pasal ini memperlihatkan desentralisasi versus standarisasi perizinan," kata Barley dalam diskusi virtual bersama para peneliti Indef di channel Youtube Indef, Jakarta (15/4/2020).

Barley menceritakan pada 1999 izin pertambangan berada di pemerintah daerah yakni kabupaten atau kota. Lalu di tahun 2014, di bawah kewenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, izin dipindahkan ke pemerintah daerah tingkat provinsi.

Sementara dalam revisi UU Minerba, kewenangan izin tambang ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat. "Sekarang di drafnya (revisi UU Minerba) jadi (kewenangan) pemerintah pusat, ini perlu didiskusikan lebih dalam," kata Berly.

Sebelum akhirnya diputuskan, DPR sebagai pengusul revisi perlu memberikan penjelasan terkait standarisasi perizinan. Berly mempertanyakan apakah pemberian izin usaha sudah bukan lagi jadi bagian desentralisasi pemerintah daerah.

Harus ada penjelasan dari evaluasi distribusi pemberian izin usaha minerba selama jadi kewenangan pemda kabupaten/kota atau pemerintah provinsi. Dari evaluasi tersebut bisa terlihat efektivitas dari pemberian izin usaha di masing-masing tempat.

"Apakah memang tidak memuaskan atau tidak sesuai standar, sehingga perlu di geser ke pusat," kata Berly.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.


Jika di Pusat

Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Jika kewenangan pemberian izin dilakukan pemerintah pusat, maka harus ada penjagaan terhadap prosesnya. Sehingga tidak ada lagi hal-hal negatif yang terjadi di perizinan kabupaten/kota dan pemerintah provinsi.

"Sehingga tidak ada lagi hal-hal negatif yang terjadi selama perizinan di kabupaten/kota atau provinsi," kata Barley.

Selain itu, pada pasal 169A kontrak karya dan PKP2B memberikan kelonggaran bagi perusahaan yang belum pernah mengajukan izin perpanjangan. Pengajuan kontrak karya dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUP operasi produksi sebagai kelanjutan operasi perjanjian/kontrak.

Masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 tahun operasi setelah berakhirnya kontrak kerja atau PKP2B dengan mempertimbangka upaya peningkatan penerimaan negara. Padahal dalam aturan yang berlaku saat ini, jika perusahaan habis izinnya maka semua aset dan proyeknya dikembalikan kepada negara.

"Perpanjangan yang sudah habis masanya KK dan PKP2B untuk batu bara sebelumnya kan harus lelang lagi," kata Barley.

Tentu perlu penjelasan dari DPR terkait alasan kontrak bisa dilakukan secara otomatis tanpa ada lagi proses lelang. Sebab menurutnya perpanjangan izin tanpa lelang pada revisi UU Minerba bisa menjadi perlindungan berlebihan untuk pemegang KK dan PKP2B.

"Kalau sudah habis ya harus dikembalikan ke negara," tutup dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya