ATGA Dihukum Bayar Kerugian Karhutla di Jambi Rp590 Miliar

Majelis hakim PN Jambi menghukum PT ATGA membayar kerugian ekonomi dan lingkungan Rp590 miliar. Vonis ini menjadi momen untuk menjerat korporasi lain yang konsesinya mengalami kebakaran tahun 2019.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 16 Apr 2020, 20:00 WIB
Seorang anak mengenakan masker saat bermain di lokasi lahan perusahaan bekas kebakaran hutan di wilayah Kumpeh, Muaro Jambi. Foto diambil tahun 2019. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi Pengadilan Negeri (PN) Jambi mengabulkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (ATGA) yang berkedudukan di Jambi atas perkara kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Dalam putusannya itu majelis hakim menghukum perusahaan untuk membayar kerugian materil dan lingkungan senilai Rp590,5 miliar kepada penggugat.

Putusan dengan register perkara No.107/Pdt.G/LH/2019/PN.Jmb itu dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jambi, Senin (13/4/2020) sore. Pihak penggugat dihadiri Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Majelis hakim menilai pihak tergugat secara sah bertanggungjawab mutlak atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesinya pada tahun 2015 lalu seluas 1.500 hektare. Perusahaan ini memiliki luasan konsesi mencapai ribuan hektare di lahan gambut yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Tanjungjabung Timur, Jambi.

Majelis hakim yang diketuai Victor Togi dalam amar putusannya mengabulkan gugatan penggugat dan menghukum perusahaan untuk membayar ganti kerugian materil senilai Rp160,9 miliar dengan rincian: kerugian ekologis Rp112,1 miliar dan kerugian ekonomis Rp47,9 miliar.

Selain itu PT ATGA juga diharuskan membayar biaya pemulihan kepada penggugat senilai total Rp430,4 miliar dengan rincian: biaya pemulihan ekosistem RpRp366 miliar, dan biaya untuk mengaktifkan fungsi ekologis yang hilang Rp13,4 miliar.

Kemudian biaya pembangunan atau perbaikan sistem hidrologi (water management) di lahan gambut Rp18 miliar, biaya revegetasi Rp30 miliar, biaya verifikasi sengketa lingkungan hidup Rp86 miliar dan biaya pengawasan pelaksanaan pemulihan Rp2,9 miliar.

Dengan jumlah tersebut, kerugian baik secara materil dan lingkungan yang harus dibayarkan oleh perusahaan total senilai Rp590,5 miliar atau setengah triliun lebih.

Dalam perjalanan kasus gugatan ini, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jambi Lexy Fatharani mengatakan, tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang menangani perkara ini sebanyak 11 orang dari JAM Datun Kejagung RI. Sebanyak 7 orang saksi diperiksa dan 11 ahli dihadirkan dalam persidangan gugatan itu.

"Salah satu ahlinya adalah mantan wakil ketua KPK La Ode M Syarif, dia ahli lingkungan yang menyampaikan jika korporasi bisa dihukum membayar ganti kerugian mutlak karena perusahaan lalai dan tidak mempersiapkan sarana pecegahan karhutla," kata Lexy dalam siaran persnya.

Atas putusan tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Jambi memberikan waktu kepada para pihak selama 14 hari sejak putusan ini dibacakan. "Saat ini JPN juga masih menunggu ada atau tidak upaya hukum dari pihak penggugat," kata Lexy.

Sementara itu, Pranata Law Firm selaku kuasa hukum PT ATGA menyatakan, sebelumnya dalam persidangan itu telah medatangkan lima orang saksi ahli yang menjelaskan rentetan sumber api di perusahaan. Selain itu, pihak perusahaan belum pernah diberikan sanksi administrasi, namun tiba-tiba langsung digugat.

"Dalam proses persidangan kami meminta agar majelis hakim mendapatkan keyakinan dari mana sumber api masuk ke perusahaan," kata salah satu anggota kuasa hukum Pranata Law Firm ketika dihubungi.

Atas dasar pertimbangan tersebut, mereka sepakat akan mengajukan banding terhadap putusan ini. "Kami akan mengajukan banding dalam waktu dekat ini," kata kuasa hukum yang tak ingin disebutkan namanya itu.


Terbukti Lalai

Lokasi lahan bekas terbakar di perusahaan yang berkedudukan di Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Gambar diambil tahun 2019. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi Rudiansyah mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengungkap fakta keadilan terhadap lingkungan, meski kasus kebakarannya tahun 2015 dan gugatannya baru terregistrasi tahun 2019 dan divonis 2020.

Dengan gugatan yang dimenangkan KLHK itu kata Rudi, perusahaan terbukti bersalah dan lalai atas kebakaran yang terjadi di areal konsesi perusahaan. Sehingga hasil dari putusan setelah incratch ini nantinya bisa diimplementasikan dan benar-benar dieksekusi.

Dalam konteks pemulihan ekologi kerusakan lahan gambut yang terbakar sebut Rudi, itu suatu yang sangat penting. Sehingga perusahaan tidak bisa ditorelir lagi karena pada tahun 2019, perusahaan juga mengalami kebakaran dan menyebabkan bencana kabut asap yang merugikan masyarakat banyak.

"Tahun 2019 perusahaan itu (PT ATGA) juga mengalami hal yang sama. Perusahaan lalai terus dan berulang kali terjadi kebakaran dilokasi yang sama," kata Rudi.

Selain itu menurut Rudi, sudah sangat tepat perusahaan dikenakan tanggung jawab mutlak (Strict liability). Ini merupakan tanggung jawab mutlak yang dibebankan pada pihak perorangan atau korporasi karena terjadinya kerusakan lingkungn hidup. Konsep Strict liability atau tanggung jawab mutlak itu termaktub di dalam pasal 88 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

"Jadi PPLH ini masih sangat strategis dan aparat bisa menerapkan tanggung jawab mutlak kepada korporasi yang konsesinya terbakar, terutama untuk Karhutla yang terjadi pada tahun 2019," kata Rudi.


Apa Kabar Perusahaan Pelaku Karhutla yang Lain

Sejumlah anak bermain di kanal lahan gambut yang berdekatan dengan konsesi perusahaan yang terbakar di wilayah Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Gambar diambil tahun 2019. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Ketika Helikopter Waterboombing lalu lalang di langit Jambi sudah dipastikan menjadi tanda musim kabut asap telah tiba. Kabut asap yang menjadi bencana musiman setiap musim kemarau itu selalu menjadi ingatan masyarakat. 

Tak hanya masyarakat di desa yang tinggal di lokasi dekat Karhutla yang kena imbasnya, tapi masyarakat di kota pun sama, kena imbasnya juga. Mereka beraktivitas di tengah udara buruk saat musim kabut asap itu.

Akibat bencana kabut asap itu juga membuat indeks penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) meningkat. Anak-anak sekolah diliburkan dan penerbangan terganggu. Semua orang menggunakan masker karena tak ada udara sehat.

Menurut catatan otoritas kesehatan Provinsi Jambi, pada bencana kabut asap rentang waktu Agustus-September 2019 itu jumlah penderita ISPA mencapai 63.554 jiwa. Sebagian besar yang terserang adalah kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.

Berdasarkan data SiPongi KLHK luas kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi pada tahun 2019 mencapai 56.593 hektare, meski kondisinya menurun dari tahun sebelumnya, namun bencana kabut asap akibat dari Karhutla itu telah menyusahkan masyarakat.

Berbeda dengan data luasan yang dimiliki Walhi Jambi. Rentang waktu Januari hingga 31 Oktober 2019 luasan kebakaran hutan dan lahan di Jambi mencapai 165 ribu hektare. Dari luasan itu di antaranya 114 ribu di lahan gambut dan 50 ribu hektare lahan nongambut/mineral.

Dari konversi dan hasil analisis data satelit yang dikaji Walhi kata Rudiansyah, menunjukan hampir 60 perusahaan di Jambi mengalami kebakaran, dan itu didominasi perusahaan yang konsesinya di areal gambut yang sulit dipadamkan saat terbakar.

Berdasarkan data kebakaran yang terjadi pada 2019 seharusnya sebut Rudi, banyak korporasi yang digugat oleh negara. Sebab, negara mempunyai tanggung jawab menyediakan dan memenuhi lingkungan hidup yang baik dan berkelanjutan.

"Kita lihat proses gugatan terhadap pelaku kebakaran ini dalam menaikan status menjadi tersangka (korporasi) di Jambi relatif terlalu sedikit. Ini harus menjadi pelajaran, dan negara tidak boleh tunduk dan kalah terhadap pelaku kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi," pungkas Rudi.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya