HEADLINE: Donald Trump Setop Dana untuk WHO, Keputusan Berbahaya Saat Pandemi Corona?

AS masih jadi negara dengan jumlah kasus positif COVID-19 tertinggi di dunia. Saat wabah belum tamat, Donald Trump tiba-tiba menghentikan pendanaan ke WHO. Efeknya?

oleh Raden Trimutia HattaTanti YulianingsihTommy K. Rony diperbarui 28 Apr 2020, 13:47 WIB
Presiden AS Donald Trump dalam briefing melawan Virus Corona (COVID-19) di Gedung Putih. Dok: White House

Liputan6.com, Washington D.C. - Amerika Serikat jadi negara dengan kasus Virus Corona COVID-19 terbanyak di dunia. Hingga Kamis (15/4/2020), tercatat ada 645.922 orang terinfeksi, dengan 28.640 kematian dan 49.091 pasien pulih.

Sementara, di level dunia, angka positif COVID-19 sudah tembus 2 juta kasus. Epidemi belum lagi tamat, Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk menghentikan pendanaan terhadap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang jadi garda depan di tengah kondisi darurat kesehatan global yang entah kapan akan berakhir.

Akibatnya, dana untuk WHO bisa terpangkas hingga US$ 500 juta atau Rp 7,8 triliun setahun. Tentu saja, itu kejutan yang tak menyenangkan bagi banyak pihak. 

Amerika Serikat adalah penyedia dana terbesar untuk WHO, dengan kontribusi lebih dari 14 persen dari anggaran organisasi global itu pada 2019.

Trump merasa punya alasan untuk membekukan pendanaan ke WHO. Kata miliarder nyentrik itu, tindakan WHO ketika awal penyebaran Virus Corona COVID-19 mengecewakan sehingga banyak korban berjatuhan.

Trump mengklaim, WHO mendukung apa yang ia sebut sebagai 'disinformasi' dari pihak China dan tidak pendukung travel ban atau pembatasan perjalanan untuk China pada Januari 2020. 

"Seandainya WHO melakukan tugasnya membawa para ahli medis ke China untuk menilai secara objektif situasi di lapangan dan menyebut sikap China yang kurang transparan, wabah bisa saja dibendung di sumbernya dengan angka kematian yang sangat sedikit," kata Trump pada Selasa 13 April 2020, seperti dikutip dari CNN.

"Ini akan menyelamatkan ribuan nyawa dan menghindari kehancuran ekonomi dunia," imbuhnya.

Trump menuding WHO terlalu percaya terhadap klaim pemerintah China. "Kepercayaan WHO pada pernyataan China mungkin menyebabkan peningkatan 20 kali lipat di dunia dan mungkin lebih…Begitu banyak kematian disebabkan kesalahan mereka," tuding Trump seperti dikutip dari BBC

Salah satu orang dekat Trump, seperti dikutip dari NDTV mengatakan, dana yang semula dialokasikan ke WHO akan dialihkan ke lembaga lain. Misalnya Palang Merah Internasional. 

Keputusan Donald Trump direspons banyak pihak. Sebagian besar kecewa. Salah satunya pendiri Microsoft, Bill Gates. 

"Menghentikan pendanaan untuk WHO di tengah krisis kesehatan yang melanda dunia adalah hal yang berbahaya. Tugas mereka adalah memperlambat penyebaran COVID-19 dan jika itu dihentikan tidak ada organisasi lain yang bisa menggantikannya. Dunia membutuhkan @WHO saat ini lebih dari sebelumnya," kata Bill Gates di akun Twitternya. 

Tak ketinggalan Ketua DPR AS Nancy Pelosi menentang keputusan itu. "Keputusan tersebut berbahaya, ilegal, dan dengan cepat akan mendapat penentangan," kata dia dalam pernyataan seperti dikutip dari The Hill.

"Kita hanya bisa mengalahkan pandemi global ini dengan respons internasional yang terkoordinasi dengan menghargai sains dan data." 

Sementara, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyesalkan keputusan Donald Trump tersebut. 

"Amerika Serikat telah menjadi sahabat lama yang dermawan bagi WHO dan kami berharap terus berlanjut seperti itu," ujar Tedros di Jenewa, Rabu 15 April.

"Kami menyesalkan keputusan Presiden Amerika Serikat yang memerintahkan penghentian pendanaan kepada WHO. 

 

Infografis Presiden Trump Bekukan Pendanaan WHO. (Liputan6.com/Trieyasni)

 

Motif di Balik Keputusan AS?

Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu menilai, Trump sedang mencari kambing hitam, sekaligus kesal pada WHO yang terkesan lunak ke China. 

"Mungkin Presiden Trump sedang mencari kambing hitam untuk problem di Amerika karena negaranya sekarang terinfeksi paling tinggi dan korban meninggal juga paling banyak. Jadi ada tekanan dari dalam negeri untuk meminta tanggung jawab Presiden Trump. Dia menghadapi pressure itu, dia mencoba mencari kambing hitam, dan dia mempermasalahkan WHO, yang menurut penilaian Trump, terlambat ketika wabah Virus Corona ini mulai di China," jelas Aleksius kepada Liputan6.com

Aleks menilai Trump sedang memakai kekuatan finansial AS agar terjadi perubahan di tubuh WHO. 

"Barangkali Amerika Serikat mempunyai target itu untuk mengganti pimpinan WHO saat ini, yang dituduh Presiden Trump, terlalu soft, terlalu lembek pada China, mau didikte oleh China. Jangan dilupakan kontribusi Amerika masih signifikan sebagai negara maju," jelas Aleks. 

"'Saya kan beri duit, masa keputusannya merugikan saya?' Itu cara berpikirnya Trump," lanjutnya. 

Aleksius Jemadu menyayangkan keputusan Donald Trump yang menyetop dana ke WHO. Keputusan itu disebut tidak populer dan merusak kredibilitas AS di dunia internasional. 

Sumbangan untuk WHO juga tidak sebatas untuk melawan Virus Corona, melainkan virus-virus lain. Keputusan Trump pun dinilai membahayakan negara-negara berkembang yang bergantung ke WHO saat memerangi pandemi Virus Corona COVID-19. 

"Oleh karena itu, kita berharap Presiden Trump akan meninjau kembali keputusannya karena saat ini WHO masih dibutuhkan terutama negara berkembang di Asia dan Afrika," tegas Aleks.

Sementara itu, Shafiah F. Muhibat, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai bahwa ada masalah di kedua belah pihak. Pada satu sisi, Trump memang kurang sigap dalam merespons di awal virus corona baru mewabah di China, namun WHO juga sempat tidak tegas memberikan pernyataan terkait COVID-19. 

"Ada praise untuk WHO karena menjalankan fungsinya sebagai lembaga internasional di bidang kesehatan. Di sisi lain, ada kritik untuk WHO, misal ketika awal-awal cenderung rileks, downplaying terhadap pandemi ini, kemudian banyak keluar pernyataan-pernyataan yang diklarifikasi, misalnya pakai masker atau enggak, itu kan banyak membuat kebingungan," ungkap Shafiah kepada Liputan6.com.

Ia mengaku tak kaget melihat manuver Presiden Trump. Pasalnya, sebelumnya Trump sudah skeptis terhadap agenda global, seperti Paris Agreement dan NATO.  

"Menurut saya perkembangan terakhir ini sudah sesuai dengan tren politik global belakangan ini, di mana negara-negara besar seperti Amerika itu cenderung mengeluarkan kebijakan yang unilateral," ujar Shafiah.

"Sebelum ini Donald Trump keluar dari Paris Agreement tentang climate change dan meragukan fungsi dari NATO. Itu kan sudah menurun kepercayaan terhadap forum-forum multilateral. Sekarang terkait COVID-19 ini masih menyambung dari tren yang sudah ada sebelumnya," lanjut Shafiah. 

Indonesia yang mendapat sisi positif dari forum-forum multilateral diminta untuk mencegah penurunan tren tersebut. Shafiah mendorong adanya pernyataan dari Indonesia agar situasi antara Donald Trump dan WHO bisa mereda. 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Kejahatan Kemanusiaan?

Presiden AS Donald Trump bersama Dr. Anthony Fauci dan Dr. Deborah Birx yang menjadi penasihat Gedung Putih melawan Virus Corona (COVID-19). Dok: Gedung Putih

 

Pakar kesehatan terkemuka telah melabeli keputusan Donald Trump untuk memotong dana ke WHO sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan" dan tindakan "terkutuk" yang akan menelan korban jiwa.

Melansir laman The Guardian, langkah ini juga mendapat teguran dari kepala Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengatakan WHO "sangat penting bagi upaya dunia untuk memenangkan perang melawan Virus Corona COVID-19".

Pada Selasa 14 April malam, Trump menyatakan dana AS akan ditunda selama 60-90 hari sambil menunggu tinjauan "untuk menilai peran WHO atas tuduhan salah urus dan menutupi penyebaran virus corona". 

Richard Horton, pemimpin redaksi jurnal medis Lancet, menulis bahwa keputusan Trump adalah "kejahatan terhadap kemanusiaan ... Setiap ilmuwan, setiap pekerja kesehatan, setiap warga negara harus melawan dan memberontak terhadap pengkhianatan solidaritas global yang mengerikan ini."

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, "bukan waktunya" untuk memotong dana atau untuk mempertanyakan kesalahan. 

"Begitu kita akhirnya membalik halaman tentang epidemi ini, harus ada waktu untuk melihat kembali sepenuhnya untuk memahami bagaimana penyakit seperti itu muncul dan menyebarkan kehancurannya begitu cepat di seluruh dunia, dan bagaimana semua yang terlibat bereaksi terhadap krisis," kata Guterres.

"Pelajaran yang dipetik akan sangat penting untuk secara efektif mengatasi tantangan yang sama, karena mungkin timbul di masa depan. Tapi sekarang bukan saatnya ... Ini juga bukan saatnya untuk mengurangi sumber daya untuk operasi WHO atau organisasi kemanusiaan lainnya dalam memerangi virus," tambahnya lagi.

Dr Amesh Adalja, seorang sarjana senior di Pusat Keamanan Kesehatan Universitas Johns Hopkins, mengatakan WHO memang membuat kesalahan dan mungkin perlu reformasi tetapi pekerjaan itu perlu dilakukan setelah krisis berlalu. 

"Bukan di tengah pandemi Anda melakukan hal semacam ini," katanya.

Dr Nahid Bhadelia, seorang dokter penyakit menular dan pengajar di sekolah kedokteran Universitas Boston, mengatakan pemotongan itu adalah bencana mutlak. "WHO adalah mitra teknis global, platform di mana negara berdaulat berbagi data atau teknologi, mata kami pada lingkup pandemi global ini."

Laurie Garrett, mantan anggota senior Dewan Hubungan Luar Negeri, mengatakan bahwa keputusan itu adalah tindakan yang "terkutuk" oleh Trump yang "dengki" dan akan menelan korban jiwa. 

"Sementara itu, WHO adalah satu-satunya harapan yang dimiliki sebagian besar negara Afrika, Amerika Latin dan Asia Pasifik," katanya.

Lawrence Gostin, direktur pusat WHO untuk kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia, memperkirakan AS pada akhirnya akan kalah karena negara-negara lain akan masuk ke dalam kekosongan dengan meningkatnya pendanaan. 

"Dalam kesehatan global dan di tengah pandemi, Amerika akan kehilangan suaranya," kata Gostin.

Sementara itu, Melinda Gates, istri dari salah satu orang terkaya di dunia Bill Gates menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah Amerika Serikat yang menghentikan dana bantuan pada Badan Kesehatan Dunia (WHO).

"Menarik dana dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah langkah berbahaya dan tidak masuk akal ketika dunia menghadapi krisis kesehatan akibat pandemi Corona COVID-19," kata Melinda Gates.

Baru-baru ini, The Bill & Melinda Gates Foundation berhasil menggalang dana tambahan sebensar US$ 150 juta atau setara Rp 2,3 triliun.

Sehingga, dana yang berhasil digalang oleh yayasan ini berjumlah US$ 250 juta atau setara dengan Rp 3,9 triliun. "Menurunkan dana WHO sama sekali tidak masuk akal selama pandemi Corona COVID-19. Kami membutuhkan tanggapan terkoordinasi global," jelas Melinda.

Gates Foundation adalah donor terbesar kedua bagi WHO di belakang Amerika Serikat. Melinda Gates mengatakan sebelumnya bahwa memotong dana WHO dalam krisis kesehatan adalah hal yang sangat berbahaya.

WHO sebelumnya mendapat kecaman atas beberapa aspek penanganan pandemi ini, dan telah dituduh terlalu pro-China.

Sebagian besar fokus kritik adalah pada unggahan di Twitter pada 14 Januari 2020 dari WHO yang mengatakan "penyelidikan awal yang dilakukan oleh otoritas China tidak menemukan bukti yang jelas tentang penularan dari manusia ke manusia". 

Tetapi para pejabat WHO juga mengatakan kepada kolega mereka dalam briefing teknis pada 10 dan 11 Januari, dan memberi tahu pers pada 14 Januari, bahwa penularan dari manusia ke manusia adalah kemungkinan yang kuat mengingat pengalaman epidemi virus corona masa lalu dan mendesak tindakan pencegahan yang sesuai.

WHO juga telah diserang karena pengucilan Taiwan dari keanggotaannya. Alasannya, Beijing menganggap negara itu sebagai wilayahnya.

Keputusan Trump untuk memotong dana disambut positif di beberapa tempat, termasuk oleh aktivis demokrasi Hong Kong Joshua Wong yang menyebut WHO sebagai "lengan diplomasi China".

 

Indonesia Minta Dunia Fokus Tangani COVID-19

Menanggapi keputusan Trump menyetop pendanaan ke WHO, Menlu Retno mengatakan bahwa di saat seperti ini negara-negara seharusnya lebih fokus menangani pandemi COVID-19. 

"Dalam situasi yang serba sulit seperti ini, saya kira hal yang paling pas sebenarnya energi kita, kita pusatkan saja pada upaya untuk menangani kasus COVID-19 karena itu sudah memerlukan energi yang sangat luar biasa," papar Menlu Retno dalam siaran Instagram Live

Menlu Retno kemudian menjelaskan bahwa dalam KTT Virtual bersama negara-negara ASEAN beberapa waktu lalu, para pemimpinnya berkomitmen untuk menangani pandemi ini bersama-sama.  "Fokus saja supaya kita bisa keluar dari situasi ini bersama-sama," tambahnya lagi.


Dampak Keputusan AS

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus berbicara dalam sebuah konferensi pers di Jenewa, 11 Maret 2020. WHO menyatakan wabah COVID-19 dapat dikategorikan sebagai "pandemi" karena virus tersebut telah menyebar semakin luas ke seluruh dunia. (Xinhua/Chen Junxia)

Badan Kesehatan Dunia (WHO) didirikan pasca-Perang Dunia II sebagai bagian dari PBB. Bermarkas di Jenewa, WHO memiliki sekitar 7.000 staf yang tersebar di lebih dari 150 kantor perwakilan di seluruh dunia.

Di tengah kondisi darurat seperti pandemi COVID-19, WHO difungsikan sebagai pusat koordinasi, memandu penanganan, menyatakan kondisi darurat, dan membuat rekomendasi. 

WHO juga bekerja sama dengan negara-negara untuk berbagi informasi untuk membantu para ilmuwan mengatasi wabah COVID-19. Kurangnya dana tentu saja akan menyulitkan kerja lembaga itu, pada saat yang paling dibutuhkan umat manusia. 

Tugas WHO bukan hanya menangani wabah seperti Ebola dan COVID-19. Organisasi tersebut juga mendukung pemberantasan penyakit seperti malaria dan polio serta memajukan kesehatan masyarakat global.

Karol Sikora, kepala petugas medis di Rutherford Health mengatakan bahwa negara-negara dengan sistem kesehatan yang lebih lemah dan negara-negara berpenghasilan rendah akan kalah dari wabah jika AS menarik pendanaan untuk WHO.

"Jika dana ditarik, seperti yang diputuskan Trump, yang akan terjadi adalah orang-orang miskin akan menderita secara tidak proporsional di seluruh dunia karena merekalah yang mendapatkan manfaat paling banyak dari WHO," kata mantan kepala program kanker WHO itu kepada ABC.

Dr Sara Davies, ahli tata kelola kesehatan global di Griffith University mengatakan bahwa jika pemotongan dana dilakukan, WHO harus membuat keputusan sulit soal program mana yang dapat dilanjutkan atau dihentikan di tengah jalan.

Afrika jadi salah satu yang paling terdampak. Terutama soal penanggulangan polio, malaria, dan HIV yang selama ini didukung dengan pendanaan AS, demikian seperti dikutip dari situs City Press.

Dalam artikel berjudul China Wins: Why Trump's WHO Funding Cut Is a Gift to Beijing yang dimuat Time pada 15 April 2020, ada satu lagi dampak dari penghentian dana AS untuk badan kesehatan dunia: kemenangan bagi China. 

Seperti diungkap dalam artikel tersebut, sejak Perang Dunia II, AS dan negara berhaluan demokrasi liberal berjuang untuk mendefinisikan misi dan standar badan internasional seperti WHO.

Memotong pendanaan badan itu di tengah pandemi global, menurut para kritikus, hanya akan membuka ruang bagi China pada saat negara itu berusaha untuk memperluas pengaruhnya terhadap badan-badan internasional.

"Jika kita melepaskan arena permainan, jelas China akan mengisi ruang itu," kata Joseph DeTrani, mantan direktur CIA untuk Operasi Asia Timur. "Mereka bertindak pada saat kita bicara."

Menurut Kristine Lee, Associate Fellow Asia-Pacific Security Program di Center for a New American Security, pernyataan pemerintahan Trump yang akan menghentikan pendanaan ke sejumlah organisasi internasional justru membuka ruang lebih luas bagi Tiongkok untuk mentransformasi PBB, "menjadi platform untuk kebijakan luar negerinya sendiri," kata dia. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya