Liputan6.com, Jakarta- Opini oleh Maria Fitriah, S. Sos., M. Si, Dosen sekaligus Ketua Program Studi Sains Komunikasi Universitas Djuanda Bogor
Advertisement
Penyebaran virus Corona Covid-19 yang semakin masif belakangan ini. Hal ini ditunjukkan semakin meningkatnya gejala dan penyakit fisik terkena Covid-19. Kondisi ini pun dapat membuat kita menjadi paranoid.
Secara teori komunikasi dari disiplin psikologi, dikenal Stimulus Response Theory yang menunjukkan komunikasi merupakan proses aksi-rekasi. Paranoid merupakan dampak dari kecemasan karena mendapatkan stimulus yang kita respon negatif.
Paranoid karena kecemasan merasa memiliki beberapa gejala yang serupa dengan pasien Corona Covid-19 seperti batuk-batuk, pegal-pegal, meriang, sakit tenggorokan. Reaksi akibat cemas lazim dinamakan gangguan psikosomatik.
Dilansir dari Britannica, gangguan psikosomatik merupakan kondisi ketika tekanan psikologis mempengaruhi fungsi fisiologis (somatic) secara negatif menimbulkan gejala sakit.
Hal ini bisa terjadi lantaran adanya disfungsi atau kerusakan organ fisik akibat aktivitas yang tidak semestinya dari sistem saraf tak sadar dan respons biokimia tubuh.
Dampak Psikis: Stimulus Response Theory dan Gangguan Psikosomatik
Kondisi di atas membuat seseorang yang awalnya sehat bisa saja pada akhirnya imunitas menjadi menurun karena pola pikir dengan perasaan cemas terhadap Covid-19.
Pikiran dengan perasaan cemas yang berlebihan karena mengaitkan pada fenomena yang ada sehingga tubuh pun menjadi sakit. Namun ternyata tidak hanya memberikan dampak fisik, tetapi juga dampak psikis.
Dampak psikis inilah yang perlu kita perhatikan, baik pada penderita maupun masyarakat sekitarnya. Penderita khawatir ketika privasinya atau identitasnya bocor kepada publik sehingga berdampak dikucilkan oleh lingkungan sekitar.
Akhirnya reaksi dari penderita bisa tidak jujur kepada tenaga medis mengenai riwayat penyakit, perjalanan interaksi sebelumnya, bahkan pernah kontak dengan penderita Covid-19 lain tanpa mengikuti himbauan. Dengan demikian, akan sulit terlacak atau sulit diketahui penderita Covid-19 untuk segera mendapatkan penanganan secara medis.
Advertisement
Isolasi Sosial dalam Lingkungan
Tenaga medis pun mendapatkan isolasi sosial (pengucilan) dari lingkungan karena berinteraksi merawat pasien yang ODP, PDP, bahkan positif Covid-19 sehingga khawatir menjadi carrier. Padahal tenaga medis bergerak atas nama kemanusiaan.
Tenaga medis berjibaku bertaruh nyawa secara langsung menangani pasien rentan tertular Covid-19 ataupun kelelahan. Sungguh miris jika kita melakukan isolasi sosial kepada tenaga medis sebagai balasan segala jasa yang telah dilakukan menyelamatkan bangsa. Bahkan, ada tenaga medis yang akhirnya menginap di rumah sakit karena tidak diterima di lingkungannya saat pulang.
Tidak hanya itu, jenazah akibat Covid-19 pun tidak mendapatkan penerimaan yang baik di lingkungan pemakaman. Selain masyarakat biasa, jenazah tersebut adalah tenaga medis yang rela dengan ikhlas tanpa menyelamatkan diri sendiri yang awalnya hanya menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) seadanya.
Betapa sedihnya pihak keluarga. Bayangkan jika itu di posisi Anda, bisakah menerima ini semua? Padahal sudah sangat terpukul semenjak mengetahui tertular Covid-19 sehingga keluarga pun tidak bisa menemui selama masa perawatan, berjuang untuk sembuh dengan menerapkan berbagai anjuran kesehatan.
Pentingnya Dukungan Sosial
Rupanya sangatlah penting dukungan sosial dari lingkungan dalam situasi ini. King (2012) menyatakan, dukungan sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang lain yang menunjukkan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai, dihormati, dan dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik.
Lebih lanjut House dan Khan (dalam Apollo&Cahyadi, 2012), dukungan sosial adalah tindakan yang bersifat membantu yang melibatkan emosi, pemberian informasi, dan penilaian positif pada individu dalam menghadapi permasalahannya.
Bagi masyarakat luas dapat menimbulkan perasaan tertekan, stress, cemas terhadap pemberitaan mengenai meningkatnya jumlah penderita Covid-19. Pemberitaan dapat mempengaruhi hormon sehingga menyebabkan sistem imun yang menurun dan rentan tertular Covid-19. Maka diharapkan kita melakukan literasi media yang tepat.
Kita bisa selektif dalam penggunaan media. Secara teori komunikasi, ada istilah yang dikenal úses and grativications. Sepatutnya kita mencari informasi sesuai dengan kebutuhan dan tepat dari sumbernya sehingga tidak terjadi simpang siur, keraguan, atau kepalsuan (hoax).
Dukungan sosial, menurut Cohen&Hoberman (dalam Isnawati&Suhariadi, 2013), meliputi: Pertama, appraisal support yaitu adanya bantuan berupa nasehat yang berkaitan dengan pemecahan suatu masalah untuk membantu mengurangi stressor. Kedua, tangiable support yaitu bantuan nyata berupa tindakan atau bantuan fisik dalam menyelesaikan tugas. Ketiga, self esteem support yaitu dukungan yang diberika orang lain terhadap perasaan kompeten atau harga diri individu atau perasaan seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok di mana para anggotanya memiliki dukungan yang berkaitan dengan self-esteem seseorang. Keempat, belonging support yaitu menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu kelompok dan rasa kebersamaan.
Advertisement
Bagaimana Cara Mengatasi Dampak Psikis?
Tak perlu ada isolasi sosial yang hanya berasal dari kecemasan berlebihan. Justru hal yang sangat perlu kita lakukan adalah dukungan sosial. Waspada memang perlu agar tidak semakin meningkat pasien akibat tertular Covid-19. Namun tidak perlu berlebihan menghadapinya.
Bagaimana cara kita mengantisipasi dampak psikis ini? Tentunya yang utama yaitu lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, social distancing, makan bergizi, makan buah-buahan dan sayuran, minum vitamin, istirahat cukup, mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir atau hand sanitizer (kondisi darurat), menggunakan masker jika ke luar rumah jika darurat, dan olah pikir untuk hal-hal positif.