Opsi Sulit Industri Hotel Sulteng Bertahan pada Masa Pandemi Covid-19

Meski begitu sejumlah opsi sedang dijalankan pelaku perhotelan di Sulawesi Tengah, demi menghindari PHK massal.

oleh Heri Susanto diperbarui 18 Apr 2020, 20:00 WIB
Salah satu Hotel di jalan Mohamad Hatta Palu yang tampak lengang sejak wabah Covid-19 melanda. (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

Liputan6.com, Palu - Imbas pandemi Corona Covid-19 juga menggebuk sektor usaha di Sulawesi Tengah, salah satunya perhotelan. Tingkat hunian hotel di Sulteng rata-rata anjlok menjadi hanya 10 persen. Meski begitu, sejumlah opsi sedang dijalankan pelaku perhotelan di Sulawesi Tengah, demi menghindari PHK massal.

Dampak pandemi Covid-19 di Sulawesi Tengah rembes hingga ke sektor ekonomi. Virus itu menggebuk industri terutama setelah kebijakan pembatasan sosial, larangan berpergian, dan pembatasan akses masuk sejumlah daerah diberlakukan.

Imbasnya, terhitung sejak akhir Maret hingga April 2020, tingkat hunian hotel di Sulawesi Tengah terus merosot menjadi hanya 10 persen saja. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Tengah, Fery Taula mengakui dengan tingkat hunian seperti itu sulit bagi pengelola hotel mencicipi untung.

Kalaupun ada hotel berbintang yang masih mendapat hunian hingga 30 persen itupun karena adanya kontrak dengan pihak lain. Namun, angka itu juga terancam anjlok jika kondisi tidak membaik.

"Dengan tingkat hunian segitu biaya operasional pun sulit dipenuhi. Bahkan, ada hotel yang telah tutup," Fery mengeluh, Senin (6/4/2020).

Kondisi industri perhotelan di tengah pandemi Covid-19 itu juga seturut dengan lesunya kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Di daerah-daerah yang selama ini sohor sebagai lokasi wisata Sulawesi Tengah seperti Luwuk dan Togean di Tojo Unauna, sejak awal April persentase kunjungan telah 0 persen. Bahkan, di Kabupaten Tojouna, tidak ada lagi akomodasi yang dibuka untuk wisatawan.

"Kalaupun masih ada orang luar Sulteng yang menghuni hotel di lokasi wisata, itu karena wisatawan berstatus longstay yang telah lama berada di sana," tambah Fery lagi.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Strategi Bertahan untuk Menghindari PHK Massal

Salah satu resort di objek wisata di Kecamatan Balaesang, Donggala, Sulteng. Sejak Covid-19 mewabah, resort tersebut tidak lagi kedatangan tamu. (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

Dampak langsung dari iklim buruk itu adalah pekerja perhotelan. Berdasarkan data PHRI juga, hingga awal April saja, sebanyak 575 karyawan hotel di Sulawesi Tengah telah dirumahkan. Jumlah itu baru berasal dari Kota Palu, Luwuk, dan Tojo Unauna.

Fery menyebut hal tersebut dilakukan pengelola hotel sebagai bagian dari upaya bertahan. Upaya lain menghindari PHK massal adalah dengan memberlakukan pembatasan waktu kerja bagi karyawannya. Di Palu saja PHRI menyebut rata-rata Hotel merumahkan 50 persen pekerjanya. Jumlah yang diperkirakan akan terus bertambah selama masa pencegahan Covid-19.

"Di Palu hotel yang masih beroperasi memberlakukan 10 sampai 15 hari kerja saja bagi karyawannya. Bisa jadi akan bertambah," dia mengatakan.

Di luar berbagai upaya itu, sejauh ini untuk menyelamatkan industri perhotelan di Sulteng, pengajuan relaksasi dan bebas pajak bagi hotel telah diajukan PHRI Sulteng ke Gubernur Sulteng dan para kepala daerah di kabupaten-kabupaten.

"Kami sudah mengajukan pembebasan pajak hotel hingga Desember 2020 ke Gubernur, wali kota, dan bupati. Dampak Covid-19 ini masif. Tidak ada cash flow untuk biaya operasional termasuk gaji karyawan," Fery menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya