Belajar Empati dari Kosongnya Perut di Bulan Ramadan

Ada banyak sekali aspek dari puasa yang bisa menjadi madrasah. Yakni pembelajaran bagi kita untuk kehidupan kita pasca bulan Ramadan untuk selamanya.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 18 Apr 2020, 11:00 WIB
Cepat Lapar / Sumber: iStockphoto

Liputan6.com, Jakarta Dari sekian manfaat puasa Ramadan bagi kesehatan, salah satu yang utama adalah mengajarkan seorang mukmin untuk berempati. Merasakan apa yang saudara sesama kita dalam kelaparan, dahaga dan juga menahan hawa nafsu.

Habib Husein Ja'Far Al Hadar, seorang sosok muda intelektual islam menyampaikan ada banyak sekali aspek dari puasa yang bisa menjadi madrasah. Yakni pembelajaran bagi kita untuk kehidupan kita pasca bulan Ramadan untuk selamanya.

"Salah satu pembelajaran yang utama adalah Rasul pernah katakan bahwa bukan seorang mukmin mereka yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar. Maka puasa adalah satu pembelajaran kepada kita untuk merasakan lapar," ujarnya, seperti dimuat dalam YouTube, Jeda Nulis miliknya.

"Betapapun kebutuhan, kita bisa kita penuhi setiap harinya. Betapapun kita orang yang kaya raya. Maka Allah wajibkan kepaada siapa saja setiap muslim untuk berpuasa di bulan Ramadan agar siapa saja yang mengaku seorang muslim pernah merasakan rasa lapar di dalam perutnya sehingga diharapkan dia tidak akan pernah merasakan kenyang kecuali dia mengetahui bahwa tetangganya, orang-orang di dekatnya, keluarganya juga merasakan perasaan yang sama yakni tidak sedang kelaparan," ujarnya.

Pria yang aktif memberikan dakwah secara digital melalui akun media sosialnya mengatakan, puasa adalah suatu pembelajaran ibadah kita untuk menghadirkan kesusahan orang lain, penderitaan orang lain, rasa lapar orang lain, kesulitan ekonomi orang lain, ke dalam diri kita.

"Secara eksistensial, kita mungkin mendapatkan pembelajaran dalam Al-Qur'an dan Hadits. Bahwa kita harus kemudian memiliki sikap empati kepada orang lain, kepada orang yang kesusahan," katanya.

Banyak sekali ayat maupun hadits yang mengajarkan kepada kita untuk berempati kepada orang lain. Namun pembelajaran itu bersifat teoritis. Sedangkan pembelajaran yang bersifat praktis adalah di bulan Ramadan ini. Dimana kemudian kita dibuat secara eksistensial. Rasa sulit itu, rasa lapar itu, rasa haus itu hadir dalam diri kita.

"Meskipun sebenarnya kita bisa membeli makanan, kita bisa membeli minuman, bahkan kita memiliki kekayaan untuk bermewah-mewahan. Tapi kata Allah, di bulan Ramadan tahan semua itu. Janganlah makan dari fajar sampai maghrib. Sehingga rasa lapar, rasa kekurangan itu hadir dalam diri ini dengan harapan kemudian," ucapnya.

 


Bagaimana empati tumbuh di dalam diri

Ilustrasi Ramadan (sumber: iStockphoto)

Dai Muda itu juga menyampaikan, rasa empati kepada mereka yang kekurangan itu benar-benar tumbuh dalam diri kita. Bukan hanya kita belajar secara teoritis dengan membaca Al-Qur'an dan Hadits bahwa kita harus membantu orang lain sehingga kemudian dalam pikiran kita dan hati kita muncul perasaan untuk membantu orang lain, namun secara praktis pun Allah kemudian membimbing kita untuk membangun rasa empati kapada orang yang kekurangan, yang kelaparan dengan menghadirkan ibadah puasa.

"Sehingga kalau mungkin secara teoritis kita masih belum terdorong dengan membaca Al-Qur'an dan Hadits, untuk membantu orang lain yang kelaparan namun dengan rasa lapar ini hadir dalam diri kita," katanya.

Maka tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak berempati kepada mereka yang kekurangan. Karena kita sudah tahu beratnya menjadi seorang yang kelaparan, susahnya menjadi orang yang sedang kesulitan.

Sebagaimana dalam Al-Qur'an bahwa tolak ukur dari puasa itu kata Allah dimaksudkan agar kita menjadi seorang yang bertaqwa. "La'allakum Tattaquun", kata Allah," katanya.

"Maka kemudian kalau kita ingin tahu apa makna dari taqwa, bagaimana mengukur seorang itu sudah bertaqwa atau tidak, kita baca surat Ali Imran ayat 134. Dikatakan bahwa tolak ukur dari kita melihat siapa yang bertaqwa adalah salah satunya yaitu disebutkan, dia ringan tangan, mudah berderma kepada orang lain bahkan hanya dalam keadaan lapang tapi dalam keadaan sempit," ujarnya.

Maka puasa adalah pembelajaran bagi kita untuk berempati kepada orang lain. Bahkan bukan hanya dalam keadaan kita bisa berempati kepada orang lain, namun dalam keadaan kita tidak bisa berempati kepada orang lain dalam keadaan kita sempit.

Ketahuilah bahwa berempati kepada orang lain tidak mesti memberikan harta kita ketika kita tidak memilikinya.

Ibarat kita memindahkan paku yang ada di tengah jalan ke pinggir jalan. Sekadar kita memberikan senyum kepada orang lain. Maka itu adalah bentuk empati kepada orang lain karena bisa jadi seseorang itu berkecukupan secara ekonomi, namun mereka berkekurangan dalam hatinya.

"Tidak bahagia hatinya sehingga senyum bisa menjadi sedekah terbaik bagi kita untuk orang yang kekurangan batinnya. Maka puasa adalah pembelajaran kepada kita untuk memberikan rasa empati kepada orang yang kekurangan hartanya maupun kekurangan hatinya untuk mendapatkan kebahagiaan," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya