Jepang Kewalahan Hadapi Lonjakan Kasus Baru Corona COVID-19, Minim Ventilator dan ICU

Dokter di Jepang telah memperingatkan bahwa sistem medis negara itu bisa runtuh di tengah gelombang baru kasus virus corona.

oleh Hariz Barak diperbarui 19 Apr 2020, 15:48 WIB
Seorang pria mengenakan masker melewati pohon sakura di taman Ueno, Tokyo, Jepang (12/3/2020). Di tengah kekhawatiran akan penyebaran virus corona COVID-19, Gubernur Tokyo Yuriko Koike menghimbau warga menghindari kerumunan saat pesta tradisional "hanami". (AFP/Philip Fong)

Liputan6.com, Jakarta Dokter di Jepang telah memperingatkan bahwa sistem medis negara itu bisa runtuh di tengah gelombang baru kasus virus corona.

Ruang gawat darurat tidak dapat mengobati beberapa pasien dengan kondisi kesehatan serius karena beban tambahan yang disebabkan oleh virus, kata para pejabat seperti dikutip dari BBC, Minggu (19/4/2020).

Satu ambulans yang membawa seorang pasien dengan gejala virus corona ditolak oleh 80 rumah sakit sebelum dia mendapat fasilitas yang bisa merawatnya.

Jepang, yang pada awalnya tampak mampu mengendalikan virus, melaporkan akumulasi 10.000 kasus yang dikonfirmasi pada Sabtu 18 April 2020, the Asahi Shimbun melaporkan. Angka tersebut, lapor Asahi, tidak termasuk kasus-kasus positif dari penumpang kapal pesiar Jepang.

Lebih dari 200 orang kini telah meninggal akibat virus corona dan ibu kota Tokyo tetap menjadi daerah yang paling parah terkena dampaknya. Pada Jumat 17 April, Tokyo melaporkan kasus harian baru sebanyak 201, yang terbanyak sejak pandemi virus corona menghantam ibu kota, the Asahi Shimbun melaporkan.

Sekelompok dokter yang memiliki fasilitas praktek mandiri di kota itu telah membantu rumah sakit melakukan pengujian pasien potensial virus corona untuk meringankan beberapa beban pada sistem kesehatan utama, kata para pejabat.

"Ini untuk mencegah sistem medis dari kehancuran," Konoshin Tamura, wakil kepala asosiasi dokter, mengatakan kepada kantor berita Reuters.

"Semua orang perlu mengulurkan tangan bantuan. Kalau tidak, rumah sakit akan kewalahan," tambahnya.

Simak video pilihan berikut:


Kekurangan Ventilator dan Ruang ICU

Bus dengan spanduk China bertuliskan 'Pergi, Kita Pulang!' membawa penumpang Hong Kong dari kapal pesiar Diamond Princess yang dikarantina di Yokohama, Jepang, Jumat (21/2/2020). Ratusan orang yang dinyatakan negatif virus corona (COVID-19) berangsur meninggalkan kapal. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Sementara itu, awal pekan ini, sebuah tim ahli pemerintah Jepang memperingatkan bahwa Jepang dapat memiliki lebih dari 400.000 kematian terkait virus corona jika kebijakan seperti pembatasan jarak sosial tidak diperketat.

Tetapi sebagian besar kematian, mereka memperingatkan, dapat disebabkan oleh kurangnya ventilator, demikian seperti dikutip dari CNN.

Masalah kekurangan pasokan medis di Jepang mencuat pekan ini ketika Walikota Osaka Ichiro Matsui mendesak orang untuk menyumbangkan jas hujan yang tidak terpakai bagi pekerja kesehatan untuk digunakan sebagai alat pelindung diri, setelah mereka dipaksa untuk memakai kantong sampah.

Para ahli mengatakan, kekurangan medis dikombinasikan dengan tingkat pengujian yang relatif rendah dan kurangnya komitmen Jepang untuk melakukan 'kerja di rumah' menciptakan faktor-faktor yang berpotensi pada meledaknya kasus-kasus baru.

Secara nasional, Jepang hanya memiliki tujuh tempat tidur ICU per 100.000 warga, dibandingkan dengan 35 per 100.000 warga di AS, menurut the Japanese Society of Intensive Care.

Ada juga kekhawatiran tentang kekurangan peralatan. Menurut informasi yang diberikan oleh Society of Respiratory Medicine Jepang, hanya ada 22.000 ventilator untuk populasi lebih dari 126 juta. Pada akhir Februari, 40% digunakan.


Meningkatkan Upaya Pengujian

Seorang wanita mengenakan masker melewati pohon sakura di taman Ueno, Tokyo, Jepang (12/3/2020). Di tengah kekhawatiran akan penyebaran virus corona COVID-19, Gubernur Tokyo Yuriko Koike menghimbau warga menghindari kerumunan saat pesta tradisional "hanami". (AFP/Philip Fong)

Pemerintah juga berupaya meningkatkan tingkat pengujian dengan memperkenalkan fasilitas drive-thru.

Dalam beberapa minggu terakhir, Jepang telah melakukan tes jauh lebih sedikit daripada di negara lain dan para ahli mengatakan ini telah membuatnya lebih sulit untuk melacak penyebaran baru.

Bulan lalu, tes yang dilakukan Jepang hanya 16% dari jumlah tes PCR (polymerase chain reaction) yang dilakukan Korea Selatan, menurut data dari Universitas Oxford.

Dan tidak seperti Korea Selatan --yang membawa wabahnya sebagian besar terkendali melalui program pengujian skala besar-- pemerintah Jepang mengatakan bahwa melakukan pengujian yang meluas adalah "pemborosan sumber daya."

Pengujian juga diatur oleh pusat kesehatan setempat, bukan pada tingkat pemerintah nasional --dan beberapa pusat lokal ini tidak diperlengkapi untuk melakukan pengujian pada skala besar.

Tetapi, pada Jumat 17 April 2020, Perdana Menteri Shinzo Abe mengindikasikan bahwa pemerintah telah mengubah kebijakannya untuk menguji dan meluncurkannya secara lebih luas.

"Dengan bantuan dari asosiasi medis regional, kami akan mendirikan pusat pengujian," katanya dalam konferensi pers.

"Jika dokter di rumah memutuskan pengujian diperlukan, sampel uji diambil di pusat-pusat ini dan dikirim ke perusahaan inspeksi swasta," katanya. "Dengan demikian, beban pada pusat kesehatan masyarakat akan berkurang."


Status Darurat Nasional di Jepang Diperpanjang

Petugas memeriksa penumpang yang turun dari kapal pesiar Diamond Princess yang dikarantina di Yokohama, Jepang, Jumat (21/2/2020). Dua orang Jepang dari kapal pesiar Diamond Princess dilaporkan meninggal dunia. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Shinzo Abe telah mengumumkan keadaan darurat nasional karena wabah yang memburuk.Langkah ini memungkinkan pemerintah daerah untuk mendesak orang agar tetap di rumah, tetapi tanpa tindakan hukuman atau kekuatan hukum. Ini akan tetap berlaku sampai 6 Mei 2020.

Setelah keadaan darurat awal mulai berlaku pada tanggal 8 April, sejumlah gubernur regional lainnya menyerukan langkah-langkah untuk diperluas ke daerah mereka, mengatakan bahwa kasus-kasus bertambah dan fasilitas medis mereka kewalahan.

Dua asosiasi medis darurat Jepang juga mengeluarkan pernyataan bersama yang memperingatkan bahwa mereka "sudah merasakan runtuhnya sistem medis darurat."

Takayuki Miyazawa, seorang ahli virus di Universitas Kyoto, mengatakan bahwa untuk membendung penyebaran, pemerintah perlu jujur dengan orang-orang dan mempertegas kembali kebijakan menjaga jarak sosial dan kerja jarak jauh.

"Politikus memberi orang terlalu banyak harapan dan menyuruh mereka menanggung keadaan darurat hanya sampai 6 Mei ketika itu diperkirakan akan meningkat," kata Miyazawa.

"Jadi orang berpikir semua ini akan selesai pada 6 Mei, tetapi mereka belum memahami kenyataan - bahwa kita harus tetap menjaga kita dari virus."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya