Liputan6.com, Aceh - Dalam perjalanan menuju ke Kabupaten Pidie Jaya, seorang teman yang saat itu sedang menyetir mobil tetiba menyeletuk saat kami berada di lintasan lurus di kawasan pasar Grong-Grong, kabupaten Pidie. "Siapa mau mi caluk?"
Mi caluk? nama makanan tersebut tentu terdengar tidak sefamiliar mi Aceh yang memang telah cukup kesohor sebagai salah satu nama kuliner di nusantara.
Sesaat kemudian teman tadi telah kembali dengan membawa sekantong plastik penuh bungkusan kecil-kecil berisi mi caluk. Lantas, bagaimana rasa dari mi tersebut?
Baca Juga
Advertisement
Mi caluk bukanlah makanan yang jika dimakan seporsi akan bikin kenyang karena itu lebih tepat disebut sebagai makanan selingan karena dalam sebungkus mi caluk, isinya cuma sekepal. Ini sebanding dengan harganya yang hanya Rp1.000-2.000 per bungkus.
Harganya tergolong jauh di bawah harga mi Aceh yang rata-rata dijual antara Rp10 ribu-25 ribu tergantung campurannya. Tapi, murah bukan berarti tidak enak.
Bahan dasar mi caluk adalah mi lidi yang berwarna agak kemerahan, dan biasanya memiliki ukuran sedikit lebih besar. Mi caluk disajikan di atas daun pisang dengan lumuran saus kacang yang ditumbuk kasar serta diberi tambahan, seperti potongan mentimun, daun singkong, kubis, tauge, tahu, kerupuk, dan lainnya, tergantung di mana tempat mi tersebut dijual.
"Rasa khas bumbu kacangnya itu yang dominan. Saya ingat gado-gado sama pecel, tapi, ini ada mi gitu. Yang pasti, dua bungkus enggak cukup," kata seorang teman yang baru pertama kali mencoba.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Asal Muasal
Untuk menemukan mi caluk tidak dengan mendatangi warung mi seperti lazimnya pedagang mi di Aceh. Gerobak-gerobak pedagang mi caluk biasanya terdapat di kawasan pedestrian yang ada di pusat-pusat keramaian, misal, di kawasan Pidie dan Pidie Jaya pada hari-hari biasa, dengan waktu utama yakni pagi hingga menjelang siang hari.
Dua kabupaten tersebut diakui sebagai tempat di mana pedagang mi caluk legendaris berada. Kendati demikian, bukan berarti di tempat lain makanan satu ini tidak tersedia, terutama pada bulan puasa, lapak pedagang mi caluk biasanya ikut memenuhi pusat-pusat penjualan takjil di Aceh.
Belum ada narasi yang dapat dipertanggungjawabkan soal asal muasal kuliner satu ini. Ada yang mengatakan awalnya merupakan makanan warga Kluet di Aceh Selatan, warisan dari raja pada abad ke-18 yang dibawa oleh pedagang ke Pidie.
Soal namanya pun masih terjadi perdebatan. Ada yang bilang berasal dari kata "caleue" yang lama-kelamaan menjadi caluk, ada pula yang mengatakan bahwa kata caluk merujuk pada cara si penjual yang menyendok mi tersebut dengan tangan kosong saat menaruhnya ke dalam daun pisang para pembeli, yang jelas, mi caluk cukup mujarab sebagai makanan selingan untuk menunda lapar di pagi hari, tertarik?
Advertisement