ICW: Koruptor di Indonesia Masih Dihukum Rendah

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, jika koruptor masih dihukum ringan, maka tak akan memberikan efek jera.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 20 Apr 2020, 05:17 WIB
Ilustrasi tangkap koruptor (Via: huffingtonpost.com)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai sepanjang 2019, pengadilan menjatuhkan hukuman rendah terhadap koruptor. Menurut ICW, rata-rata koruptor hanya dipidana selama 2 tahun 7 bulan bulan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, jika koruptor masih dihukum ringan, maka tak akan memberikan efek jera.

"Jika putusan pengadilan masih menghukum ringan pelaku korupsi, maka sudah barang tentu pemberian efek jera tidak pernah akan terealisasi dengan baik," ujar Kurnia, Minggu (19/4/2020).

Selain hukuman ringan, menurut ICW, terdapat 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan, termasuk mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa perkara korupsi SKL BLBI serta Sofyan Basir mantan Dirut PT PLN yang menjadi terdakwa terkait suap proyek PLTU Riau-1.

ICW mengkategorikan hukuman 0 hingga 4 tahun sebagai vonis ringan, lebih dari 4 tahun hingga 10 tahun vonis sedang, dan hukuman lebih dari 10 tahun sebagai vonis berat.

Kurnia memaparkan, dari pemantauan yang dilakukan ICW, sepanjang 2019 terdapat 1.019 perkara korupsi yang disidangkan di pengadilan dengan 1.125 terdakwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 842 terdakwa korupsi divonis ringan.

Di tahun sebelumnya, menurut Kurnia hanya sekitar 173 terdakwa yang divonis sedang, sembilan terdakwa divonis berat. Bahkan, kata Kurnia, terdapat 41 terdakwa yang divonis bebas dan 13 terdakwa yang divonis lepas.

"Tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2019 belum menunjukkan keberpihakan sepenuhnya pada sektor pemberantasan korupsi. Hal ini dikarenakan dalam temuan ICW rata-rata vonis terhadap terdakwa korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara saja," kata dia.

Rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan lebih rendah dari rata-rata tuntutan yang disampaikan penuntut umum baik dari Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rata-rata tuntutan Kejaksaan 3 tahun 4 bulan penjara, sementara dari tuntutan Jaksa KPK selama 5 tahun 2 bulan.

Secara rinci, Kurnia memaparkan, dari total 911 terdakwa yang dituntut Kejaksaan, sebanyak 604 dituntut ringan, 276 sedang, dan 13 berat. Sementara KPK menuntut 197 terdakwa, dengan 51 terdakwa dituntut ringan, 72 sedang, dan 6 berat.

Sedangkan untuk putusan, kasus yang ditangani Kejaksaan rata-rata divonis 2 tahun 5 bulan penjara. Sedangkan perkara korupsi yang ditangani KPK rata-rata divonis 4 tahun 1 bulan penjara.

"Lalu untuk vonis ringan, ketika penuntutnya adalah KPK sebanyak 63 terdakwa dan Kejaksaan sendiri sejumlah 722 terdakwa. Vonis yang dikategorikan berat untuk KPK sendiri sebanyak 2 terdakwa dan Kejaksaan 5 terdakwa," katanya.


Minta MA Selektif

ICW meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) yang baru terpilih, Muhammad Syarifuddin menyoroti secara khusus tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi. Hal ini dapat dilakukan MA dengan menyusun dan merealisasikan pedoman pemidanaan.

"Agar ke depan setiap hakim memiliki standar tertentu saat memutus perkara korupsi," katanya.

Selain itu, ICW juga meminta MA selektif dalam menilai kelayakan bukti terkait Peninjauan Kembali (PK) yang saat ini marak dilakukan terpidana korupsi. Sepanjang tahun 2019, MA setidaknya telah mengurangi hukuman enam terpidana kasus korupsi mulai dari pengurangan hukuman penjara, ataupun penghapusan uang pengganti.

"Jangan sampai justru PK dijadikan kesempatan bagi terpidana korupsi untuk lolos dari jerat hukum tanpa didasarkan persyaratan yang jelas," kata Kurnia.

Tak hanya hukuman pidana yang ringan bagi koruptor, upaya memulihkan keuangan negara yang diakibatkan korupsi juga tak maksimal. Sepanjang 2019, ICW menyebut praktik korupsi merugikan keuangan negara hingga lebih dari Rp 12 triliun.

Namun, putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya sekitar Rp 748 miliar atau hanya 10 persen dari keuangan negara yang mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.

Kejaksaan dan KPK juga tidak maksimal menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) kepada koruptor. Sepanjang 2019, hanya delapan terdakwa yang dikenakan UU TPPU. Padahal, penerapan TPPU kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi.

"Secara yuridis maupun realita kejahatan korupsi seringkali beririsan langsung dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini sekaligus akan memberikan efek jera maksimal terhadap pelaku korupsi," kata dia.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya