Liputan6.com, Jakarta - Tokoh Inspiratif Raden Ajeng Kartini atau R.A. Kartini dikenal sebagai salah satu pahlawanyang menginspirasi kaum perempuan pribumi untuk bangkit dan menjadi bagian penting dalam hidup.
Berkat inspirasi yang ditularkan R.A. Kartini, Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir. Soekarno menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melelui Kerppres Nop. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Tanggal lahirnya pun diperingati besar, Hari Kartini.
R.A. Kartini merupakan perempuan dari kalangan priyayi, sebutan untuk kelas bangsawan Jawa. Ayahnya, Mas Adipati Ario Sosroningrat, merupakan seorang patih yang juga Bupati Jepara, Jawa Tengah, dikutip dari On feminism and nationalism: Kartini's letters to Stella Zeehandelaar 1899-1903.
Baca Juga
Advertisement
Sementara ibunya, M.A. Ngasirah, merupakan putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama yang juga tinggal di kota yang sama dengan sang ayah.
Kartini muda belajar bahasa Belanda di ELS (Europese Lagere School), berkat kemahiran bahasa itu, ia lantas melahap beraneka bacaan. Mulai dari Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus hingga buku-buku karya Augusta de Witt.
Persinggungannya dengan dunia literasi Belanda itu membuat pikiran gadis muda ini terbuka lebar. Babhkan, dirinya juga membaca majalah dan koran Eropa, yang tentu saja semakin membuka cakrawala. Hingga pada kesimpulan, dirinya tertarik untuk memajukan perempuan pribumi.
Kartini juga dikenal sebagai perempuan yang rajin menulis. Lagi-lagi, berkat kemampuannya berbahasa Belanda itu, memudahkannya untuk berkorespondensi dengan karibnya asal Belanda, Rosa Abendanon. Rosa, bukan hanya teman, melainkan juga pendukung bagi R.A. Kartini.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Surat-Surat Kartini
Usia R.A Kartini tergolong pendek, ia meninggal dunia pada 17 September 1904 di Rembang. Saat itu, usianya baru menginjak 25 tahun. 7 tahun setelah itu, karibnya yang kala itu menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon menerbitkan surat-surat Kartini menjadi sebuah buku.
Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht, secara harafiah, artinya Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Pada 1922, Balai Pustaka berinisiasi untuk menerbitkan buku tersebut dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Terbitan selanjutnya terjadi pada 1938, kali ini versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Pada terbitan ini, buku Habis Gelap Terbitlah terang dibagi menjadi limam bab pembahasan. Pada versi ini, buku ini dicetak sebanyak sebelas kali.
Tak hanya dalam bahasa Belanda, surat-surat Kartini yang berbasa Inggris juga pernah dialihbahasakan oleh Agnes L. Symmers. Bahkan, surat-surat tersebut juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Sunda.
Dari surat-surat yang jadi buku itu, pikiran-pikiran Kartini menyebar, dibaca, dipelajari, lalu menginsipirasi perempuan pribumi yang kala itu dianggap lemah dan tak berdaya menjadi lebih terbuka.
Advertisement