Liputan6.com, Jakarta - Industri minyak dan gas (migas) berada daam krisis terburuk sejak Great Depression. Ada terlalu banyak pasokan minyak, tetapi tidak ada lagi yang mau membeli.
Pesawat tidak terbang, kendaraan pribadi tidak banyak keluar rumah, pengiriman barang melambat. Konsumen Amerika Serikat (AS), hanya menggunakan 10 persen dari produksi kilang minyak yang ada.
Advertisement
Dikutip dari CNBC, Selasa (21/4/2020), harga minyak tenggelam pada perdagangan Senin. nilai kontrak berjangka minyak Mei anjlok 300 persen, membalik ke wilayah negatif hingga berakhir pada minus USD 37,63 per barel.
Harga minus ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan sulit untuk dijelaskan tetapi juga merupakan sinyal awal bagi industri minyak dan gas (migas) akan adanya kemungkinan lebih banyak berita buruk di masa depan.
Salah satu alasan harga minyak menjadi minus ini karena kapasitas penyimpanan atau kilang telah penuh. Ketika kontrak berjangka berakhir, tidak ada yang mau menerima pengiriman produk fisik.
Namun memang hal tersebut bukan penjelasan yang memuaskan karena harga bisa bergerak di zona negatif. Hal ini sebenarnya lebih dipengaruhi oleh spekulasi.
"Dunia tidak pernah berhenti seperti yang terjadi pada beberapa minggu terakhir ini," kelas analis komoditas Bank of America Francisco Blanch.
Menurutnya, sebanyak 60 persen permintaan minyak berasal dari transportasi. Penjualan bensin turun lebih dari 50 persen dan industri penerbangan seluruh dunia turun hingga 90 persen. Keruntuhan konsumsi didorong oleh berhentinya mobilitas.
"Produsen sekarang mendapat sinyal yang paling keras dan harus bereaksi terhadap krisis," kata Blanch.
Pembatasan Produksi
Hanya beberapa bulan yang lalu, industri minyak Amerika berada di puncak dunia. Harga minyak naik ke sekitar USD 60 per barel pada awal tahun. Amerika pun memompa lebih banyak minyak daripada negara lain, melampaui Rusia dan Arab Saudi.
Tetapi wabah Corona di China menghasilkan penurunan tajam dalam permintaan. Industri minyak tidak berhenti memompa, dan dunia menjadi kelebihan pasokan minyak.
Lebih buruk lagi, Arab Saudi dan Rusia gagal membuat kesepakatan baru pada pengurangan produksi minyak, dan sebagai akibatnya Arab Saudi meningkatkan produksinya pada bulan Maret.
Meskipun kemudian OPEC+ menyetujui pemotongan produksi sebesar 9,7 juta barel, tetapi itu tidak cukup untuk menutupi kelebihan pasokan dunia.
Advertisement