Kasus Corona COVID-19 di Sejumlah Negara Turun, Berpotensi Muncul Gelombang Kedua?

Sejumlah negara tengah melihat adanya penurunan kasus Virus Corona COVID-19, namun seberapa besarkah potensi munculnya gelombang kedua pandemi?

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 21 Apr 2020, 14:34 WIB
Petugas medis yang bekerja di Rumah Sakit Palang Merah di Wuhan,, China pada 28 Februari 2020. Virus Corona yang bermula di China tengah pada Desember 2019 kini menyebar secara global di mana lima negara terdampak paling besar, yakni Cina daratan, Korea Selatan, Iran, Italia dan Jepang (STR/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Banyak negara mulai berencana untuk melonggarkan pembatasan yang diberlakukan karena Virus Corona COVID-19. Tetapi perdana menteri Inggris, Boris Johnson, dan kanselir Jerman, Angela Merkel, prihatin tentang potensi kebangkitan atau gelombang kedua dari pandemi ini. 

Menurut laporan The Guardian, Selasa (21/4/2020), epidemi penyakit menular berperilaku dengan cara yang berbeda tetapi pandemi influenza 1918 yang menewaskan lebih dari 50 juta orang dianggap sebagai contoh utama pandemi yang terjadi dalam berbagai gelombang, dengan yang terakhir lebih parah dari yang pertama. Ini telah direplikasi di pandemi flu berikutnya, meskipun lebih ringan.

Pandemi flu lainnya, termasuk pada 1957 dan 1968, semuanya memiliki banyak gelombang. 

Pandemi influenza A H1N1 2009 dimulai pada April kemudian diikuti di AS dan belahan bumi utara yang beriklim sedang, oleh gelombang kedua di musim gugur.

Bagaimana dan mengapa wabah multi-gelombang terjadi, dan bagaimana gelombang infeksi selanjutnya dapat dicegah, telah menjadi pokok studi pemodelan epidemiologis dan persiapan pandemi, yang telah melihat segalanya mulai dari perilaku sosial dan kebijakan kesehatan hingga vaksinasi dan peningkatan kekebalan masyarakat atau juga dikenal sebagai kekebalan kawanan.

Sementara gelombang kedua dan puncak sekunder dalam periode pandemi secara teknis berbeda, namun pada dasarnya kekhawatirannya sama, penyakit itu akan kembali.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Lonjakan Kasus di Singapura

Para wisatawan mengunjungi Taman Merlion di Singapura pada 6 Maret 2020. Tempat-tempat wisata utama di Singapura sepi dari turis di tengah epidemi virus corona COVID-19. (Xinhua/Then Chih Wey)

Tanpa vaksin, dan tanpa kekebalan luas terhadap penyakit baru ini, satu alarm dibunyikan pengalaman Singapura, yang telah menyaksikan kebangkitan mendadak dalam infeksi meskipun dipuji karena penanganan awal wabahnya.

Meskipun Singapura melembagakan sistem pelacakan kontak yang kuat untuk populasi umum, penyakit ini muncul kembali di akomodasi asrama sempit yang digunakan oleh ribuan pekerja asing dengan fasilitas kebersihan yang tidak memadai.

Dengan 1.426 kasus baru dilaporkan pada hari Senin dan sembilan asrama, yang terbesar menampung 24.000 pria dinyatakan sebagai unit isolasi, pengalaman Singapura, meskipun sangat spesifik, telah menunjukkan kemampuan penyakit ini untuk kembali kuat di tempat-tempat di mana orang berada dalam jarak dekat dan kemampuannya untuk mengeksploitasi kelemahan dalam rezim kesehatan masyarakat yang dibentuk untuk menghadapinya.

Kenaikan kecil terkait jumlah infeksi pada akhir pekan lalu di Jerman juga menarik perhatian, bahkan ketika negara itu bergerak menuju pelonggaran aturan pembatasan. Dan meskipun China terlihat sukses dalam mengendalikan wabah di provinsi Hubei, ada peningkatan kasus di bagian utara negara itu.

Sekelompok baru kasus Virus Corona COVID-19 di kota timur laut Harbin, dekat perbatasan Rusia telah memaksa pihak berwenang untuk memberlakukan penguncian baru. Padahal sebelumnya, negara itu sempat melaporkan transmisi lokal yang angkanya hampir nol dalam beberapa pekan terakhir.

Semua ini menimbulkan pertanyaan kapan, dan bagaimana, mengurangi aturan pembatasan dapat menghindari gelombang kedua atau kebangkitan angka kasus.


Kekhawatiran Ahli

Liu Huan (kanan), petugas medis dari Provinsi Jiangsu, memasuki sebuah bangsal ICU Rumah Sakit Pertama Kota Wuhan di Wuhan, Provinsi Hubei, 22 Februari 2020. Tenaga medis dari seluruh China mengerahkan upaya terbaik mereka untuk mengobati para pasien COVID-19 di rumah sakit itu. (Xinhua/Xiao Yijiu)

Kearifan konvensional di kalangan ilmuwan menunjukkan gelombang kedua infeksi resisten terjadi setelah kapasitas untuk perawatan dan isolasi menjadi habis. 

Dalam hal ini yang dikhawatirkan adalah bahwa konsensus sosial dan politik yang mendukung penguncian sedang dikalahkan oleh frustrasi publik, yang telah memicu protes di AS dan di tempat lain dan kebutuhan mendesak untuk membuka kembali ekonomi.

Ancaman menurun ketika kerentanan populasi terhadap penyakit turun di bawah ambang batas tertentu atau ketika vaksinasi luas telah tersedia.

Secara umum, rasio individu yang rentan dan kebal dalam suatu populasi pada akhir satu gelombang menentukan besarnya potensi gelombang berikutnya. Kekhawatiran saat ini adalah bahwa dengan vaksin yang munculnya masih beberapa bulan lagi, dan tingkat infeksi sebenarnya hanya dapat ditebak. Populasi di seluruh dunia tetap sangat rentan terhadap kebangkitan dan gelombang berikutnya.

Justin Lessler, seorang profesor epidemiologi di Universitas Johns Hopkins, menulis dengan tegas untuk Washington Post pada bulan Maret: “Epidemi seperti api. Ketika bahan bakar berlimpah, mereka mengamuk tak terkendali, dan ketika langka, mereka membara perlahan."

Ahli epidemiologi menyebut intensitas ini sebagai 'kekuatan infeksi', dan bahan bakar yang menggerakkannya adalah kerentanan populasi terhadap patogen. Karena gelombang epidemi yang berulang mengurangi kerentanan (baik melalui kekebalan lengkap atau sebagian), mereka juga mengurangi kekuatan infeksi, menurunkan risiko penyakit bahkan di antara mereka yang tidak memiliki kekebalan.”

Masalahnya adalah kita tidak tahu berapa banyak bahan bakar yang masih tersedia untuk virus ini. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya