Liputan6.com, Tokyo - Panel pakar di pemerintahan Jepang menyebut bagian utara Jepang seperti Hokkaido dan daerah timur laut Iwate terancam tsunami hingga 30 meter, apabila ada gempa magnitudo 9. Pada skenario terburuk, lindu besar itu berpotensi segera terjadi.
Dilaporkan Japan Times, Rabu (22/4/2020), tsunami 30 meter itu berpotensi terjadi jika ada gempa di palung-palung laut Jepang di pesisir Pasifik negara itu. Daerah utara terancam jika gempa berpusat di sekitar Palung Jepang dan Palung Kuril.
Baca Juga
Advertisement
Kantor Kabinet meluncurkan panel ini sebagai antisipasi untuk mengetahui kerusakan yang terjadi ke manusia, bangunan, dan ekonomi yang diakibatkan bencana ini. Pada saat sama, pemerintah ingin menyiapkan respons dari jauh-jauh hari.
Panel ini melakukan simulasi berdasarkan analisis deposit tsunami dalam 6.000 tahun terakhir yang melanda tujuh prefektur, yakni Hokkaido, Aomori, Iwate, Miyagi, Fukushima, Ibaraka, dan Chiba.
Miyako di Prefektur Iwate diprediksi terkena tsunami hingga 29,7 meter, sementara kota Erimo di Hokkaido terkena 27,9 meter.
Ahli seismologi dari Universitas Tokyo, Kenji Satake, berkata gempa dan tsunami telah terjadi beberapa kali dalam 6.000 tahun terakhir di daerah tersebut.
Ia menitikberatkan pada kebijakan evakuasi, bukan infrastruktur.
"Sebuah gempa bumi besar pada kelas ini (seperti di simulasi) akan sulit untuk ditangani dengan mengembangkan infrastuktur berat (seperti tanggul laut). Demi menyelamatkan nyawa manusia, kebijakan dasar seharusnya evakuasi," ucap Satake yang menjadi pemimpin panel.
Panel pemerintah kesulitan melakukan kalkulasi kapan gempa besar itu akan terjadi. Yang bisa dilihat hanyalah fakta historis bahwa tsunami besar terjadi di daerah utara itu setiap 300 sampai 400 tahun sekali.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Prioritas Penguatan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia
Akhir tahun lalu dilaporkan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, Bali menjadi prioritas penguatan Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) atau sistem peringatan dini tsunami Indonesia sekaligus skenario terburuk apabila Jakarta lumpuh.
"Jadi Bali ini sebagai sistem back-up atau cadangan dari InaTEWS yang telah dioperasikan oleh BMKG di Kantor Pusat Kemayoran, Jakarta sejak 2008," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati seperti dilansir dari Antara pada November tahun lalu.
Secara umum, sistem cadangan InaTEWS telah dibangun di Denpasar, Bali pada 2009. Hal ini disiapkan jika terjadi gangguan atau Jakarta lumpuh akibat bencana alam sehingga pengendalian Sistem Peringatan Dini Tsunami akan segera diambil alih oleh BMKG Balai Besar Wilayah III di Denpasar.
Pemilihan Bali sebagai sistem cadangan juga dengan pertimbangan bahwa daerah itu merupakan destinasi wisata Internasional sehingga perlu memberikan rasa aman dan nyaman terhadap wisatawan domestik maupun asing.
Bali juga mempunyai infrastruktur komunikasi dan sistem kelistrikan yang cukup stabil. Selain itu, Bali memiliki tingkat keamanan yang cukup baik untuk mendukung keamanan sistem dan peralatan yang terpasang.
Bahkan, didukung juga oleh jumlah sumber daya manusia dan operasional yang memadai dan handal dari segi pengolahan dan analisa gempa bumi.
Dwikorita menjelaskan, dari segi sarana dan prasarana, Bali punya fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
"Hal ini menjadi pertimbangan untuk menjadikan Bali sebagai sistem cadangan InaTEWS selain Jakarta sehingga sistemnya perlu diperkuat sama dengan pusat," ujar dia.
Sistem-sistem yang dibangun tersebut di antaranya sistem pengolahan dengan fitur-fitur terbaru serta sistem modeling tsunami yang sudah dilengkapi dengan 18.000 skenario di seluruh Indonesia.
Selain itu, pada 2020 dicanangkan penguatan khusus operasional cadangan InaTEWS Bali sehingga diharapkan ketika Jakarta mengalami masalah terkait sistem InaTEWS, Bali sudah benar-benar siap menjadi cadangan penuh dari InaTEWS Jakarta.
Ia menyebutkan, untuk 2019, pihaknya sudah membangun dua shelter seismik di Bali dan sedang menyiapkan kebutuhan untuk instalasi dua seismograf guna memperkuat jaringan sistem peringatan dini gempa bumi dan tsunami. Dua shelter tersebut berada di Kecamatan Kintamani, Bangli dan Nusa Penida, Klungkung.
"Dua shelter ini juga dibangun sebagai bentuk dukungan BMKG terhadap pertumbuhan pariwisata Bali yang terus meningkat setiap tahunnya," kata dia.
Sementara itu untuk Indonesia secara umum, saat ini BMKG sedang dalam proses merapatkan jaringan sensor-sensor gempa bumi. Sensor yang telah beroperasi sebanyak 176 sensor dan akan diperbanyak menjadi 585 sensor yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air pada 2020.
Advertisement