Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, harga minyak dunia yang tengah anjlok berdampak positif bagi neraca perdagangan Indonesia. Mengingat selama ini neraca perdagangan selalu defisit akibat impor minyak yang cukup besar.
"Dengan harga yang murah juga akan mengurangi defisit dari neraca perdagangan minyak, kalau dihitung dengan gas-gas itu memang kita masih net eksportir tapi kalau minyaknya itu net importir," ujarnya di Jakarta, Rabu (22/4/2020).
Advertisement
Penurunan harga minyak juga akan berpengaruh pada transaksi berjalan. "Itu bagus akan mempengaruhi transaksi berjalan maupun secara neraca perdagangan. Kalau dari fiskal Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) yang punya otoritas untuk itu," paparnya.
Perry melanjutkan, meski ada dampak positif untuk neraca dagang dan transaksi berjalan, harga minyak dunia yang anjlok justru memberi dampak negatif bagi penerimaan pajak. Kemungkinan penerimaan pajak dari sektor minyak juga turun.
"Tapi ya kemungkinan penerimaan pajak atau yang lain berkaitan dengan kebijakan turun tapi kebutuhan untuk pengeluaran anggaran untuk berkaitan dengan minyak kan turun. Subsidinya juga akan turun maupun yang lain-lain," jelasnya.
"Kalau bicara secara keseluruhan pengaruh penurunan harga minyak terhadap ekonomi kita dan juga terhadap neraca pembayaran itu lebih positif," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Harga Minyak AS Negatif USD 37,63 per Barel, Terendah dalam Sejarah
Sebelumnya, sejarah baru di sektor minyak dan gas (migas). Kontrak berjangka untuk harga minyak mentah Amerika Serikat (AS)turun lebih dari 100 persen dan berubah negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah pada perdagangan Senin. Hal ini menunjukkan seberapa turunnya permintaan minyak dunia akibat dari pandemi Corona.
Namun para pedagang mengingatkan bahwa runtuhnya harga minyak ke level negatif ini tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya di pasar minyak. Harga kontrak berjangka yang turun hingga negatif ini untuk pengiriman Mei yang kontraknya akan berakhir pada perdagangan Selasa. Sedangkan untuk kontrak bulan berikutnya masih diperdagangkan di atas USD 20 per barel.
Mengutip CNBC, Selasa (21/4/2020), harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei turun lebih dari 100 persen menjadi menetap di negatif USD 37,63 per barel, yang berarti produsen akan membayar pedagang untuk mengambil minyak dari tangan mereka.
Harga negatif ini belum pernah terjadi sebelumnya untuk kontrak berjangka. Kontrak berjanhka minyak WTI untuk pengiriman Juni, yang berakhir pada 19 Mei, turun sekitar 18 persen menjadi USD 20,43 per barel. Kontrak ini, yang lebih aktif diperdagangkan, merupakan cerminan yang lebih baik dari kenyataan di pasar minyak.
Untuk kontrak Juli turun 11 persen ke level USD 26,18 per barel.
Sedangkan patokan internasional, minyak mentah Brent, yang telah bergulir ke kontrak Juni, harganya turun 8,9 persen ke level USD 25,57 per barel.
Harga minyak untuk kontak Mei jatuh dalam karena pengiriman banyak dibekukan akibat lockdown sebagai dampak dari pengendalian virus Corona.
Satu-satunya pembeli minyak berjangka untuk kontrak itu adalah entitas yang ingin secara fisik menerima pengiriman minyak seperti kilang atau maskapai penerbangan. Tetapi permintaan telah turun dan tangki penyimpanan diisi, sehingga mereka tidak membutuhkannya.
Advertisement
Pasokan Masih Banyak
Analis RBC Capital Helima Croft menjelaskan, masih banyak pasokan minyak mentah saat ini sedangkan kilang-kilang juga tidak membutuhkan tambahan. "Saat ini kami belum bisa memprediksikan harga minyak dalam waktu dekat," jelas dia.
Pandemi virus Corona telah memberikan pukulan hebat bagi aktivitas ekonomi di seluruh dunia dan melemahkan permintaan akan minyak. Sementara OPEC dan sekutu telah menyelesaikan perjanjian bersejarah awal bulan ini untuk memangkas produksi sebesar 9,7 juta barel per hari mulai 1 Mei.
Banyak yang berpendapat bahwa pemotongan produksi tersebut masih tidak akan cukup untuk mengimbangi jatuhnya permintaan.
Badan Energi Internasional memperingatkan dalam laporannya bahwa permintaan pada April bisa 29 juta barel per hari lebih rendah dari tahun lalu, mencapai tingkat yang terakhir terlihat pada 1995.
"Masalah sebenarnya dari ketidakseimbangan pasokan-permintaan global telah mulai benar-benar terwujud dalam harga," kata analis Rystad Energy Bjornar Tonhaugen kepada CNBC. "Karena produksi terus berjalan dan kilang mulai terisi penuh dari hari ke hari." kata dia.