Jakarta - Sejumlah negara yang pemerintahannya dipimpin Perempuan, dinilai berhasil menangani Virus Corona COVID-19. Apakah faktor kepempinanan perempuan dalam politik turut menentukan?
Ataukah sebenarnya ada faktor-faktor lain yang menyebabkan keberhasilan tersebut?
Melansir ABC Australia, Rabu (22/4/2020), sejauh ini di negara seperti Jerman yang memiliki Kanselir Angela Merkel, walau kasus positif corona tinggi namun tingkat kematian jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara dengan penduduk yang hampir sama jumlahnya yaitu Spanyol, Prancis, Italia dan Inggris.
Advertisement
Di Selandia Baru, Perdana Menteri Jacinda Ardern menurut sebuah majalah politik terkenal di Amerika Serikat The Atlantic adalah kepala pemerintahan yang paling efektif di dunia saat ini.
Selandia Baru dengan cepat menutup perbatasan negara tersebut dan menerapkan keadaan darurat tertinggi guna mencegah masuknya virus corona, dan minggu depan akan melakukan pelonggaran setelah berhasil menahan penyebaran, dengan 1107 kasus dan 13 kematian sejauh ini.
Di Australia dua Premier (pemimpin negara bagian) adalah perempuan, yaitu Gladys Berejeklian di New South Wales, dan Annastacia Palaszscuk di Queensland.
Bersama dengan menteri utama (premier) lain, mereka bekerja sama dengan pemerintah Federal Australia sejauh ini bisa mencegah menyebarnya COVID-19 dengan cepat.
Di Taiwan, kawasan yang terdekat dengan China asal pertama virus corona, Presiden negara tersebut adalah juga perempuan yaitu Tsai Ing-wen, dan angka penyebaran di kawasan kepulauan tersebut juga rendah yaitu 422 kasus dan 6 kematian.
Beberapa negara lain di Eropa yang memiliki pemimpin perempuan adalah Denmark, Finlandia, dan Islandia yang sejauh ini juga menunjukkan bahwa mereka berhasil menahan laju penyebaran virus di negara masing-masing.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jacinda Ardern Tuai Pujian
Dalam artikel yang diterbitkan oleh majalah The Atlantic di Amerika Serikat hari Senin (20/4/2020), penulisnya Uri Freeman mengatakan bahwa PM Selandia Baru Jacinda Ardern merupakan pemimpin yang paling efektif di seluruh dunia saat ini.
Menurutnya, pandemik COVID-19 saat ini merupakan ujian terbesar bagi para pemimpin dunia saat ini dan setiap pemimpin akan dinilai berdasarkan apa yang mereka lakukan di negara masing-masing guna menangkal penyebaran virus tersebut.
"Kanselir Jerman Angela Merkel mengandalkan sains, Presiden Brasil Jair Bolsonaro menolaknya."
"Jumpa pers harian Presiden Donald Trump seperti pertunjukkan sirkus, sementara Perdana Menteri India Narendra Modi tidak memberikan penjelasan secara teratur sama sekali, bahkan setelah melakukan lock down terhadap 1,3 miliar penduduk negara tersebut." tulis Freeman.
Namun, menurut The Atlancis, gaya kepemimpinan Jacinda Ardern dengan fokus pada empati membuat Selandia Baru berhasil mengatasi virus corona.
"Pesan yang disampaikannya jelas, konsisten namun dalam waktu bersamaan menyejukkan." kata The Atlantic.Dan mengutip mantan perdana menteri Selandia Baru sebelumnya Helen Clark yang memimpin dari tahun 1999 sampai 2008, Jacinda Ardern yang berusia 39 tahun tersebut bersikap 'tidak menggurui warga tetapi dia berdiri sejajar dengan yang lain."
Selain The Atlantic, majalah ekonomi terkenal Amerika Serikat The Forbes juga menurunkan tulisan mengenai apa yang mereka sebut keberhasilan para pemimpin perempuan padahal secara keseluruhan di dunia saat ini hanya sekitar 7 persen pemimpinnya adalah perempuan.
Dalam judul salah satu artikelnya Forbes menulis "Apa kesamaan diantara negara-negara yang berhasil mengatasi virus corona? Pemimpin mereka perempuan."
Majalah tersebut kemudian menurunkan artikel yang berjudul "Why Do Women Make Such Good Leaders During COVID-19? (Mengapa Perempuan Menjadi Pemimpin yang begitu bagus selama COVID-19?).
Advertisement
Beda Cara Wanita dalam Memimpin
Menurut Hani Yulindrasari, doktor soal studi gender dari University of Melbourne, yang sekarang mengajar psikologi gender di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung (Jawa Barat) mengatakan bahwa ini bisa menguntungkan atau malah sebaliknya bagi wanita.
"Ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Karena jawaban sederhana seperti ya atau tidak bisa menjebak perempuan sendiri ke dalam stereotype yang seksis," kata Hani dalam percakapan dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya hari Rabu (22/4/2020).
Namun secara sederhana, Hani bisa melihat beberapa hal dari pemimpin perempuan di negara-negara yang berhasil tersebut.
"Para pemimpin ini bergerak cepat dan tidak meremehkan masalah pandemik ini.""Menurut saya hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan sisi feminin kepemimpinan mereka," kata Hani.
Itu disebabkan karena menurut Hani Yulindrasari, kepemimpinan perempuan biasanya lebih disorot, karena dianggap berbeda dan tidak biasa atau di luar mainstream.
"Sorotan tersebut membuat perempuan terbiasa untuk bekerja lebih keras (dua kali lipat dari laki-laki), supaya bisa dihargai sebagai pemimpin."
"Untuk itu pemimpin perempuan menjadi terbiasa menyiapkan diri menghadapi risiko yang akan dihadapinya dan tidak menganggap risiko tersebut mudah diatasi.
"Hal inilah yang membuat mereka mengambil keputusan dengan cepat," kata Hani lagi.
Pendekatan lain yang dilihat oleh Hani Yulindrasari adalah bahwa para pemimpin perempuan ini memprioritaskan nyawa dan kesehatan manusia di atas ekonomi.
Prioritas ini juga yang membuat para pemimpin ini bertindak cepat memprioritaskan sektor kesehatan.
Secara konvensional femininitas diasosiasikan dengan kepekaan sosial dan empati, hal yang dipuji oleh The Atlantic terhadap kepemimpinan PM Selandia Baru Jacinda Ardern.
Prioritas terhadap kesehatan warganegara mencerminkan kepedulian para pemimpin perempuan ini pada kemanusiaan.
Pemberitaan media internasional sudah banyak menyoroti terhadap para pemimpin yang disebut bertindak 'macho' (maskulin) dalam menghadapi COVID-19 ini.
"Contohnya saja Donald Trump yang sempat menimbang-nimbang keuntungan dan kerugian ekonomi dari membiarkan banyak orang terinfeksi dengan intervensi minimal atau lockdown," kata Hani.
"Begitu juga dengan Presiden Jokowi yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sehingga ragu-ragu mengambil keputusan penanganan COVID-19," ujarnya.
Gaya Komunikasi Empatik
Hani Yulindrasari juga melihat gaya komunikasi yang empatik dari para pemimpin perempuan yang membedakan mereka dengan pemimpin lain.
"Saya membaca tiga pidato pemimpin perempuan Angela Markel, Jacinda Ardern, dan Tsai Ing-Wen tentang kebijakan negaranya dalam menghadapi pandemik ini," kata Hani.
Ketiga pemimpin tersebut menurutnya menggunakan bahasa-bahasa yang membujuk dan empatik yang penuh kepedulian dan kasih.
Angela Markel menggunakan pengalaman pribadinya sebagai seseorang survivor holocaust yang pernah kehilangan kemerdekaan dirinya untuk menggugah kesadaran dan kepedulian masyarakat bahwa pandemic ini bisa berdampak pada kehidupan personal mereka.
Angela Markel juga menggugah rasa empati masyarakat untuk saling membantu dan bekerja sama dalam mengatasi pandemi.
"Jacinda Ardern meminta masyarakat Selandia Baru untuk 'fokus pada kebaikan', 'bersatu melawan COVID-19', dan menggunakan istilah 'tim kita berjumlah jutaan'," kata Hani lagi.
Gaya komunikasi yang sama ditunjukkan oleh Presiden Taiwan Tsai Ing-wen yang mengatakan kepada warganya bahwa kerjasama berbagai pihak di Taiwan adalah kunci keberhasilan.
"Tsai Ing-Wen bahkan menggunakan istilah 'team Taiwan' untuk menunjukkan bahwa pemerintah, rakyat, dan pihak swasta adalah satu tim," kata Hani.
Di sisi lain, menurut Hani Yulindrasari, apa yang ditunjukkan oleh para pemimpin perempuan tersebut sebenarnya tidak eksklusif bagi mereka saja.
"Gaya komunikasi yang mencerminkan kerendahan hati, kebersamaan, kohesivitas sosial ini diasosiasikan dengan gaya kepemimpinan yang feminin.""Pemimpin laki-laki pun bisa memiliki kepemimpinan yang feminin."
"Dalam situasi pandemik seperti ini, diharapkan lebih banyak lagi pemimpin, baik laki-laki ataupun perempuan, memiliki kepemimpinan feminin yang mengutamakan kepedulian terhadap kemanusiaan," katanya.
Advertisement