Liputan6.com, Jakarta - Astari Pranindya Sari harus rela menahan rindu tak bertemu dengan putra sematawayangnya lantaran menjadi garda terdepan menangani Corona Covid-19.
Tak hanya kuasa menahan rindu, Astari juga harus kuat menahan panas ketika menggunakan baju hazmat atau alat pelindung diri (APD) saat bertugas memegang pasien Corona Covid-19.
Advertisement
Astari merupakan seorang calon dokter spesialis yang saat ini ditempatkan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta.
Ia adalah peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis atau PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Spesialis Paru.
"Sebagai peserta PPDS Paru, tugas kami sebagai tenaga medis untuk berada di garis depan. Kalau garis depan rumah sakit itu adalah Instalasi Gawat Darurat (IGD), karena pasien yang dalam kondisi gawat yang dituju adalah IGD," kata Astari saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 21 April 2020.
Selama pandemi Corona, ia tidak hanya bertugas di IGD, tetapi juga di ruang isolasi Penyakit Infeksi New-Emerging dan Re-Emerging (Pinere) serta ruang rawat pasien Covid-19.
Biasanya, menurut Astari, pasien yang berada di IGD diantar oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta maupun rujukan dari rumah sakit lain yang sudah dilakukan pemeriksaan, atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP) maupun yang sudah positif hasil rapid test Corona Covid-19.
"Kalau dari rumah sakit luar, biasanya yang sudah keluar hasil rapid tesnya. Jarang yang sudah membawa hasil swab tenggorokan," terang Astari yang merupakan lulusan pendidikan kedokteran umum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bertugas di Zona Merah, Selalu Kepanasan Pakai Hazmat
RSUP Persahabatan juga membuka poliklinik Orang Dalam Pengawasan (ODP), yang mana biasanya masyarakat bisa datang sendiri ke rumah sakit.
Selama bertugas terutama saat harus masuk ke zona merah seperti ruang perawat pasien Covid-19, Astari harus menggunakan Alat Pelindung Diri atau APD lengkap termasuk menggunakan baju hazmat, yang menurutnya amat panas.
"Rasanya seperti di sauna, kalau memakai baju itu pasti berkeringat dari ujung rambut ke ujung kaki," terang Astari, lulusan magister bidang imunologi Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda, seperti dikutip Antara.
Padahal, menurut dia, berada di dalam ruang perawatan pasien tersebut bukan dalam hitungan menit, karena harus menanyakan kondisi pasien satu per satu.
"Pasien yang ditanya pun tidak hanya satu atau dua pasien," kata Astari.
Paling tidak, Astari harus menggunakan baju hazmat hingga dua jam. Terkadang timbul rasa haus saat menggunakan baju tersebut. Begitu pula adanya keinginan untuk buang air kecil.
"Bukan hanya dokter, teman-teman perawat pun mengalami hal yang sama. Sebab konsekuensi dari memakai baju hazmat, kalau sudah dilepas harus diletakkan di tempat bekas disposable dan tidak bisa dipakai lagi. Setelah itu harus mandi, baru bisa keluar menuju zona hijau," cerita Astari.
Selama menggunakan baju hazmat, tenaga medis tidak bisa melepasnya. Durasi pemakaian baju hazmat tersebut untuk dokter sekitar dua jam. Sementara untuk perawat lebih lama hingga empat jam.
"Pernah ada kejadian, teman saya pingsan saat berada di zona merah dikarenakan dehidrasi. Saat itu, dia lupa minum ketika mau masuk ke zona merah," kata Astari.
Advertisement
Alami Pergolakan Batin
Sebagai dokter yang berada pada garis depan penanganan pandemi, Astari juga merasakan pergolakan batin saat menangani pasien Corona Covid-19.
Terutama, kata dia, saat mengabarkan keluarga pasien mengenai kondisi pasien tersebut. Meski dituntut profesional, dokter tetaplah manusia yang bekerja dengan menggunakan hati.
"Pasien kalau sudah dirawat sebagai PDP atau pasien yang positif Covid-19, konsekuensinya keluarga tidak boleh masuk ke dalam ruang perawatan. Dokterlah yang mengabarkan kondisi pasien pada keluarga," tutur Astari.
Emosi Astari turut terkuras lantaran sebagai dokter, ia juga bertugas mengabarkan kondisi pasien ke keluarganya. Apalagi, kata dia, jika kemudian kondisi kesehatan pasien tersebut semakin turun.
"Berat banget rasanya menyampaikan kondisi pasien yang kondisinya memburuk kepada keluarga," kata dia.
Meski begitu, Astari tak khawatir karena ketersediaan APD di RSUP Persahabatan tidak ada kendala sama sekali. Sejak awal terlibat dalam penanganan Corona Covid-19, APD selalu tersedia.
"Alhamdulillah setiap kami masuk ke zona merah, APD selalu tersedia," papar dia.
Anak Tinggal dengan Nenek di Klaten
Sebagai tenaga medis yang bersinggungan langsung dengan Covid-19, Astari mengaku mengkotak-kotakkan perasaannya, yakni dirinya sendiri dan keluarga.
"Sejujurnya saya lebih takut dengan kotak kedua. Kami menikah pada 2016 dan baru dikarunia anak laki-laki pada 2019. Saat ini, anak kami berumur 13 bulan," cerita Astari.
Sejak akhir Februari lalu, Astari mengungsikan sementara sang anak ke tempat neneknya di Klaten, Jawa Tengah.
Ia dan suaminya menganggap, sang anak lebih aman berada di tempat neneknya dibandingkan bersama dengan dirinya di Jakarta.
"Saya dan suami waktu itu diskusi, meskipun mandinya semakin sering dan bisa dibilang aman. Tapi ada periode yang saya takutkan itu saat bertemu di dalam mobil, karena kalau suami saya jemput otomatis anak saya dibawa. Sementara saya masih memakai sepatu dan membawa tas yang dari rumah sakit," terang Astari.
Sementara sang anak masih bayi dan imunitasnya masih rendah. Daripada membahayakan, lebih baik dijauhkan dari Jakarta untuk sementara.
Padahal sebelumnya, ketika sang anak berumur enam bulan, pernah juga dibawa ke kampung halaman karena rotasi pekerjaan Astari yang amat cepat.
"Jadi ceritanya enggak tega dititipkan di daycare karena masih kecil banget. Sekian bulan di sana, baru balik ke sini lagi dan ada kejadian pandemi seperti ini dan terpaksa terpisah lagi," kenang Astari.
Advertisement
Menahan Rindu Belum Bertemu Sang Anak
Hingga saat ini, Astari belum bertemu dengan anaknya. Setelah pandemi berakhir, ia baru berencana untuk bertemu dengan anaknya.
Astari mengaku mendapatkan dukungan dari suaminya yang bekerja sebagai ASN. Setiap hari, suaminya mengantar dan menjemput Astari ke rumah sakit. Suaminya juga mengingatkannya untuk menggunakan masker dan minum multivitamin.
Ia berharap masyarakat untuk kompak dan tidak memikirkan diri sendiri. Astari mengutip istilah Delayed Gratification, yang mana membutuhkan kematangan emosional. Misalnya ingin banget jalan-jalan pada saat ini, maka orang dengan kematangan emosional bisa menahan keinginannya.
"Ini lagi wabah jadi harus di rumah saja. Kita juga harus saling mengingatkan, misalnya jika ada yang tidak mengenakan masker maka kita perlu diingatkan," pesan dia.
Astari juga berpesan kepada orangtua yang memiliki anak kecil untuk tidak membiarkan anaknya dipegang-pegang orang lain.
Meskipun tidak bermaksud jahat, tidak ada yang tahu apakah orang tersebut membawa virus atau tidak.
Astari merupakan Kartini masa kini, ia tidak berjuang untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan masyarakat.
Reporter : Merdeka
Sumber : Merdeka