Liputan6.com, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri mengaku sulit memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa penyebaran wabah virus Corona (Covid-19) saat ini. Itu lantaran ketidakjelasan aturan yang dibuat pemerintah dalam menangani pandemi ini.
"Saya melihat juga untuk Indonesia, sebetulnya kita amat sulit memprediksi Indonesia, karena penanganan covid-nya enggak karu-karuan," kata dia dalam sesi bincang-bincang online bersama Katadata, Jumat (24/4/2020).
Advertisement
Faisal kemudian mengeluhkan masyarakat yang seolah abai dengan imbauan untuk melakukan social dan phsycal distancing di masa pandemi Corona ini. Terlebih pemerintah juga masih setengah-setengah dalam menegakan aturan, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di kawasan DKI Jakarta.
"Kemarin kebetulan saya ke rumah orang tua kok macet di Pancoran. Seperti tidak ada apa-apa. Jadi kita tidak pernah bisa tahu puncaknya kapan, dan ongkosnya semakin besar," seru dia.
Dia sangat menyayangkan kondisi seperti ini terjadi, sebab Indonesia tak punya banyak modal untuk menopang ekonomi untuk masa pasca krisis ini.
"Kita tidak punya kemampuan untuk mem-back up ekonomi kita supaya tidak turun terlalu tajam. Karena kita tidak punya kemewahan seperti yang dimiliki Amerika, menggelontorkan dana untuk insentif kemarin USD 484 miliar. Total stimulus USD 2,3 triliun, belum USD triliun digelontorkan The Fed untuk meningkatkan stimulus likuiditas," tuturnya.
Penerimaan Anjlok
Hal berikut yang ia kritik yakni terkait paket stimulus melawan corona sebesar Rp 405,1 triliun. Berdasarkan data perubahan APBN 2020, anggaran belanja negara naik Rp 73,4 triliun.
"Jangan dilihat defisit APBN pemerintah yang naik 5,8 itu sebagai suatu stimulus. Bukan. Defisit 5,8 itu lebih disebabkan karena penerimaannya anjlok. Jadi peningkatan belanja itu cuman Rp 73,4 triliun. Penerimaan negaranya anjlok Rp 472 triliun. Jadi praktis tidak ada stimulus sebetulnya kalau dilihat dari magnitude tambahan dari APBN itu," pungkasnya.
Advertisement