Liputan6.com, Jakarta - Sudah jadi rahasia umum bahwa Indonesia merupakan rumah dari sekian banyak warisan budaya yang mengemban adat istiadat maupun makna sarat kearifan lokal. Eksistensinya tak semata diupayakan terus ada, namun juga dilindungi.
Kepala Subdit (Kasubdit) Pelayanan Hukum Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa warisan budaya ini masuk dalam kelompok kekayaan intelektual komunal.
"Bisa dikategorikan kekayaan intelektual komunal kanena sudah lama berkembang. Biasanya berupa pengetahuan tradisional, eskpresi budaya tradisional, potensi indikasi genetik, dan sumber daya genetik," paparnya di acara IP Talks from Home yang disiarkan langsung di akun YouTube DJKI Kemenkumham, Sabtu pagi (25/4/2020).
Baca Juga
Advertisement
Karenanya, dalam upaya perlindungan kekayaan intelektual komunal, kata Agung, terdapat inventarisasi yang dilakukan. "Inventarisasi bisa jadi satu klaim bahwa budaya ini milik siapa, daerah mana, komunal atau personal, semua jelas. Jadi, tidak bisa asal klaiim," imbuhnya.
Pasal, Agung menjelaskan, ekspresi budaya tradisional sering dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan karya-karya kontemporer. Jadi, pemeriksaan sebagai database identifikasi sumber kekayaan intetektual tersebut punya peran krusial.
"Misal, beberapa tahun lalu, ada orang yang mendaftarkan produk kekayaan intelektual yang mengklaim sebagai hasil pribadi. Tapi, setelah dicek, ternyata ada unsur kekayaan intelektual komunal, dan itu tak bisa diklaim sebagai milik pribadi. Makanya inventarisasi ini sangat penting," paparnya.
Boleh Dipertunjukkan, Asal....
Kendati demikian, Agung mengatakan, bukan berarti secara penerapan berbagai produk warisan budaya Indonesia tak bisa dipertunjukkan, entah di dalam maupun luar negeri. "Asal selama diperlihatkan, ada pengakuan bahwa budaya tersebut berasal dari Indonesia," tuturnya.
Penyelenggaraannya bisa masuk dalam upaya promosi warisan budaya Indonesia, maupun dimanfaatkan secara komersil. "Semisal dimanfaatkan secara komersil, harus ada persetujuan lebih lanjut dan di sinilah peran negara untuk mencapai kesepakatan dengan pihak tersebut," sambung Agung.
Sementara, soal inventarisasi, pendataannya tak hanya dilakukan pihak yang hendak mendaftarkan produk mereka, namun DJKI Kemenkumham juga jemput bola, terlebih 2020 telah dinyatakan sebagai tahun kekayaan intelektual komununal.
"Ada pendataan yang bekerja sama dengan pekerja Kemenkumham di berbagai wilayah supaya lebih banyak kekayaan intelektual komunal yang terdaftar," paparnya.
Di samping inventarisasi, menjaga warisa budaya Indonesia tentu direfleksikan lewat berbagai aksi nyata. Salah satu yang konsisten melakukannya sejak 18 tahun lalu adalah pihak penyelenggara Jember Fashion Carnival (JFC).
Di kesempatan yang sama, David Susilo selaku Director Program and Development of Jember Festival Carnaval, menjelaskan, pergelaran yang rutin diadakan pada bulan Agustus setiap tahunnya ini merupakan living culture di masyarakat.
"Pada 2019, JFC melibatkan sekitar enam ribu partisipan. Tak hanya talent atau peserta provinsi, tapi anak-anak muda yang belajar mengelola manajemen seni pertunjukan dengan standar tertentu," papar David.
Sebagai acara yang diperuntukkan tak hanya untuk wilayah Jember, pihak JFC sangat membuka diri untuk melakukan coaching clinic di sejumlah wilayah di Indonesia.
"Kami kasih arahan bagimana mentransfer budaya ke dalam sebuah fesyen, lalu apa sih step by step-nya menggelar acara budaya seperti JFC. Kami sangat menunggu kerja sama dengan berbagai pihak di, tak hanya Jawa, tak hanya Jember, Jawa Timur, tapi juga wilayah lain di Indonesia," ujarnya.
Sayang, mengingat upaya memutus rantai penyebaran corona COVID-19, pergelaran JFC tahun ini yang awalnya terjadwal pada Juni dan Juli harus diundur.
Advertisement