Liputan6.com, Jakarta - Sudah 15 tahun Tarmin mengajar di pedalaman negeri Cenderawasih, Papua. Ia telah mengajar di SMPN 1 Kpudori, Kampung Puweri, Distrik Supiori Utara, Papua sejak 2005. Sebuah daerah yang ditempuh sekitar tiga jam dari Biak menggunakan jalur darat.
Awalnya Supiori merupakan sebuah wilayah di Kabupaten Biak, namun karena satu dan lain hal daerah ini menjadi kabupaten tersendiri. Tarmin yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat mengaku awalnya tak menyangka bisa mengajar di SMP yang dahulu perjalanannya memakan waktu lima sampai enam jam dari pusat Kota Biak, Papua.
Advertisement
Ia mengisahkan, masyarakat di sana cukup baik menerimanya. Kendati isu saat itu mengatakan bahwa penduduk di sana tak bisa menerima orang seperti dirinya karena latar belakang agamanya, namun Tarmin membantah hal itu.
"Kalau dengan penduduk di sana cukup ramah, cukup baik. Kalau dengan perkembangan sekolahnya itu didukung sama masyarakat setempat, sehingga kami sebagai pendatang sangat mendukung," ungkapnya kepada Liputan6.com, Kamis (24/4/2020).
Layaknya seorang guru SD, mengajar sekolah tingkat SMP di pelosok juga mesti mahir menguasai semua mata pelajaran. Kendati merupakan guru Bahasa Inggris, Tarmin terpaksa juga mengajar mata pelajaran lain lantaran terbatasnya jumlah tenaga pengajar.
"Dulu kita merangkap-rangkap pak kalau ngajar karena gurunya kurang. Misalnya kaya guru SD gitu, kaya guru PKN yang berkaitan kaya penjaskes, prakarya. Kaya saya Bahasa Inggris saya ngajarnya bisa mapel lain lagi, satu atau dua lagi," paparnya.
Belum lagi bagaimana sulitnya hidup di wilayah pedalaman. Dia mengaku begitu dilingkupi keterbatasan, baik dari sarana maupun prasarana.
Saat awal-awal ia bertandang ke lokasi tersebut, fasilitas penerangan hanya mengandalkan listrik yang hanya aktif beberapa kali dalam seminggu. Ia mengaku lebih sering menggunakan pelita sebagai penerangan dibandingkan listrik.
Namun hal itu kini telah banyak berubah. Kabupaten Supiori sudah memiliki fasilitas yang cukup berkembang dibandingkan waktu dia pertama kali datang.
"Sekarang udah ada listrik 24 jam, tapi tergantung cuacanya juga pak. Di Papua kan berbeda dengan daerah lain. Kalau angin, hujan pasti pihak PLN kan mematikan jaringan ke sana. Kalau pohon roboh kan takutnya terjadi kebakaran atau apa," kata perempuan 41 tahun itu.
Kendati di tengah keterbatasan, jiwa tahan banting Tarmin sudah terasah sejak menjajaki hobinya sebagai pelancong. Ia sebelumnya bekerja sebagai pemandu wisata yang banyak memberinya pelajaran.
Momen yang paling ia ingat saat kali pertama mengunjungi tempat itu adalah ia mabuk berat di perjalanan. Pasalnya selama lima jam di mobil, Tarmin melewati jalanan dengan medan yang begitu terjal hingga kendaraan yang ia tumpangi berkali-kali tergoncang dengan keras.
Saat di sana ia mengaku cukup kesulitan mencari beras. Tarmin mengatakan bahwa beras hanya ditemui di Biak.
"Dalam sehari itu hanya ada satu kali angkutan (dari dan menuju Biak), jadi di sana hidupnya benar-benar kaya zaman dulu," ungkapnya.
Bukan hanya beras, lauk-pauk pun hanya diperoleh dari Biak. Namun karena daerah itu cukup dekat dengan laut, maka lauk-pauk ikan bisa didapatkan sedikit lebih mudah.
Ia mengaku begitu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak jarang ia hanya mengonsumsi mi instan guna menghemat anggaran.
"Kalau kita enggak ada uang, gaji guru kontrak juga kami dulu nerimanya bisa sekali lima bulan, enam bulan. Jadi kami bertahan hidup paling lama kan pake mi instan itu kan, mi goreng itu," katanya.
Di samping itu, kata Tarmin para orangtua murid yang tinggal di pulau-pulau kecil di sekitar Supiori kerap membawakan ia dan kawan-kawannya ikan hasil tangkapan mereka.
"Mereka kan dulu 2005 dari pulau ke pulau kan mendayung, aduh kami pernah ikut juga merasakan itu. Beberapa dengan teman kita mencoba ke pulau," katanya.
Tarmin mengatakan memang dulu masih banyak murid yang berasal dari pulau-pulau di sekitar sana. Mereka disediakan mess untuk tempat menginap. Karena jika bolak-balik cukup membutuhkan banyak waktu. Belum lagi risiko terjangan ombak.
Namun karena di pulau-pulau tersebut sudah ada sekolah, kini tak ada anak-anak di luar pulau yang mengenyam pendidikan di SMPN 1 Kpudori, Papua.
Anak-anak itu, kata Tarmin menjadi pelipur sepi di tengah kehidupan yang jauh dari keluarga. Tarmin kerap diajak anak-anak yang tinggal di mess untuk bermain voli usai pulang sekolah.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Terserang Malaria
Ujian terberat mengabdi bagi pendidikan di pedalaman, menurut Tarmin adalah membunuh rasa kangen terhadap keluarga di Bima. Dulu kala statunya masa lajang, kata Tarmin, dalam sebulan ia bisa menelepon sang ibu di rumah.
Ia terkenang bagaimana susahnya pada masa awal-awal dia di sana untuk berkomunikasi dengan orangtua. "Jadi kami sama teman-teman tuh inisatif ah kalau udah dua minggu, sebulan harus nelepon orangtua," paparnya.
Untuk melepas rindu Tarmin mesti berjuang terlebih dahulu. Karena di tempatnya tak ada sinyal, ia terpaksa mencari lokasi yang banyak terdapat sinyal ponsel.
Karena sulitnya transportasi di sana, kata Tarmin, ia bersama teman-temannya terpaksa menumpangi mobil truk yang kerap melewati daerah tersebut.
"Truknya ngangkut pasir atau bebatuan ya udah kita naik itu. Sopirnya pun ngerti," katanya.
Karena banyaknya orang yang menumpang sementara tempat duduk di jok mobil depan tidak memadai, Tarmin seringkali naik ke bak mobil yang terisi muatan pasir.
Kata Tarmin, orang tuanya di rumah kerap mengkhawatirkan dirinya. Namun ia selalu meyakinkan orangtua bahwa suatu saat keadaan akan berubah. Dan ia optimistis akan hal itu.
"Saya tidak menceritakan kondisi saya kepada orangtua saya. Karena pasti mereka sedih, cukup kami aja yang tahu. Karena pernah ada orang yang datang ke saya, 'aduh de kalau ini diceritain ke orangtua kamu pasti dia sedih', ya jangan karena di kampung kan enggak pernah pergi tinggal yang jauh," ungkapnya.
Ia kerap terbesit untuk kembali mengajar di kota-kota besar atau di kampung halamannya agar bisa mudah bertemu dengan orangtua. Namun ternyata ada panggilan lebih kuat yang terus menahannya untuk tetap bertahan mengajar anak-anak di pedalaman. Ia mengaku sedih dan tak tega untuk meninggalkan para murid di sana.
Meskipun ia akui saat itu gaji sebagai guru di sana jauh dari kata cukup. Namun Tarmin tetap mengirimkan sebagian besar gaji yang ia dapatkan untuk orangtuanya di rumah.
"Itu kami lebih mementingkan orangtua, misalnya dulu pernah terima berapa saya 70 persennya saya serahkan kepada orangtua. Karena saya merasa segini masih bisa lah saya cari-cari pemasukan lain," ungkapnya.
Di samping mengajar, Tarmin juga mencari sampingan dengan menjual berbagai macam barang seperti parfum, kua dan lainnya.
"Kadang nge-MC juga pak. Lumayan lah dibayarnya sekitar seratus ribu, dua ratus ribu," ungkapnya.
Tarmin juga menceritakan dirinya pernah terkena penyakit khas tanah Papua, yakni malaria. Saat itu tahun 2007, Tarmin terserang malaria tropika plus 4 yang dikenal sebagai malaria paling ganas.
"Saya kena pak malaria tropika plus 4 udah kaya orang gila pak saya. Terus saya dibawa turun (ke kota)," ungkapnya.
Karena tak kunjung sembuh, Tarmin pun diobati di kampung halamannya di Bima. Dan bersyukur bahwa satu tahun kemudian ia bisa beraktivitas kembali normal.
"Saya sakit dulu tuh hampir setahun," katanya.
Ada hal lain yang membuat Tarmin ingin terus mengejar di Supiori. Semangatnya untuk membagikan ilmu begitu besar. Terlebih lagi kepada anak-anak di Papua yang fasilitas pendidikannya masih minim kala itu.
"Saya yang paling utama membagikan ilmu ini, sampai sekarang pun saya harus membagikan ilmu tanpa dibayar pun mau saya. Saya jujur ilmu saya sedikit makanya saya harus belajar banyak," cetusnya.
Tarmin berkomitmen dengan dirinya bahwa apapun yang terjadi ia harus membagikan ilmu kepada anak-anak di sana. Dari komitmen itulah sampai saat ini ia masih dengan ikhlas mengabdi bagi pendidikan untuk anak-anak Papua.
Ada momen yang cukup membanggakan, yakni kala para anak didiknya bisa mengenyam pendidikan hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Tarmin bahkan mengaku sudah banyak murid-muridnya yang bisa mendapatkan beasiswa untuk studi ke luar negeri.
"Walaupun kita makanannya sagu, kelapa kering tapi kita juga bisa membuktikan diri di dunia ayo lihat kami bahwa anak Papua juga bisa gitu, itu slogannya kami dulu," ungkapnya.
Bagi Tarmin tak ada yang lebih mengharukan bagi dirinya di saat para anak didik bisa menjadi manusia-manusia yang berguna bagi sesama manusia maupun nusa dan bangsa.
Advertisement