Penggugat Perppu Covid-19: DPR Seperti Memberi Cek Kosong ke Pemerintah

Mantan anggota DPR RI Ahmad Yani juga menyebut, materi Perppu Covid-19 tersebut, dianggapnya tak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 29 Apr 2020, 19:18 WIB
Ilustraasi foto Liputan 6

Liputan6.com, Jakarta Keberadaan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang Undang (Perppu) Covid-19 dianggap membatasi daya ikat kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Khususnya berkenaan dengan defisit anggaran menjadi terbatas pada batas minimum 3% PDB. Adapun, batasan defisit anggaran tersebut diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 2 ayat (1) huruf a," jelas mantan anggota DPR RI yang juga ikut menggungat, Ahmad Yani dalam persidangan pendahuluan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (28/4/2020).

Menurut dia, dengan adanya batas minimum tersebut, bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menghendaki APBN harus disetujui DPR RI, dengan berbagai pertimbangan.

"Persetujuan DPR ini teramat penting karena mencerminkan kedaulatan rakyat. Itulah sebabanya, jika DPR tidak menyetujui Rancangan UU APBN, maka Pemerintah tidak punya pilihan selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Akan tetapi Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1,2, dan 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, menihilkan arti penting persetujuan DPR," jelasnya.

Karena dengan pengaturan yang demikian, lanjut Yani, malah akan membuka peluang bagi pemerintah untuk memperlebar jarak antara jumlah belanja dan pendapatan sampai dengan tahun 2022.

"Atau setidak-tidaknya, DPR tidak bisa menggunakan fungsi persetujuanya secara leluasan, melainkan dipatok dengan batas minimal 3% PBD, tanpa ada batas maksimal presentasi PDB," tambahnya.

Selain itu, dia menuturkan, diaturnya batas minimal defisit tanpa menentukan batas maksimal, dianggap seperti memberi cek kosong kepada pemerintah.

"Sama saja dengan memberikan ‘cek kosong’ bagi pemerintah untuk melakukan akrobat dalam penyusunan APBN setidaknya sampai dengan 3 (tiga) tahun ke depan atau hingga Tahun Anggaran 2022. Hal ini berpotensi disalahgunakan pemerintah untuk memperbesar rasio pinjaman negara, khususnya pinjaman yang berasal dari luar negeri," ungkap Yani.

Menurut dia, dengan dibukanya batasan jumlah defisit menjadi tanpa batas, pemerintah bisa memperbesar jumlah rasio pinjaman selama ini.

"Maka pemerintah memiliki peluang yang lebih besar untuk memperbesar jumlah rasio pinjaman, sebagaimana kecenderungan APBN kita dalam beberapa tahun terakhir," ujarnya. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Tak Memiliki Urgensi

Selain itu, masih kata dia, materi Perppu Covid-19 tersebut, dianggapnya tak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat.

Menurut Yani, sudah ada aturan Keuangan Negara, yang mengatur mekanisme pelaksanaan APBN, tanpa harus mengeluarkan Perppu.

"Karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan Perppu, yang memang sama sekali tidak dikenal dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara," jelasnya.

Menurut dia, pemerintah bisa memilih skema dengan Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan). Atau juga, melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan pengeluaran untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN periode yang sedang berjalan.

"Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam Undang-undang Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pllihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah Virus Covid-19," tegas Yani.

Dia memandang, satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi.

"Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyusun anggaran negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita di masa yang akan d ang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi piniaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak," pungkasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya