Liputan6.com, Washington, D.C. - Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un sudah hampir 3 minggu tidak terlihat di depan umum. Ia terakhir muncul pada 11 April lalu dan setelahnya menjalani operasi jantung.
Pihak Amerika Serikat (AS) tidak berkomentar banyak mengenai status Kim Jong-un, meski Presiden Donald Trump sempat berkata kondisinya tidak seburuk yang diberitakan.
Baca Juga
Advertisement
Dulu, Presiden Trump dan Chairman Kim saling mengejek di media massa dengan hinaan seperti "gendut" dan "pikun". Kini keduanya sudah harmonis. Kim Jon-un juga pernah mengajak Presiden Trump masuk ke Korea Utara pada Juni tahun lalu.
Lantas apa rencana AS jika Kim Jong-un sudah tak memerintah lagi? Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo berkata agenda AS akan tetap on the track, yakni program denuklirisasi yang disetujui di Singapura.
"Tanpa dipengaruhi apa yang terjadi di Korea Utara terkait kepemimpinannya, misi kita tetap sama, yakni mewujudkan perjanjian yang Chairman Kim buat dengan Presiden Trump di Singapura waktu itu, and itu adalah denuklirisasi penuh. Denuklirisasi Korea Utara yang diverifikasi," ujar Pompeo di kantor Kemlu AS di Washington, D.C., seperti dikutip Kamis (30/4/2020).
Menlu Pompeo juga menyiratkan dirinya sudah menjalin komunikasi dengan adik Kim Jong-un, yakni Kim Yo-jong. Pertemuan terjadi dalam pertemuan internasional.
Kim Yo-jong dijagokan sebagai pengganti kakaknya sebagai pemimpin Korut. Di konstitusi negara sosialis itu, pemimpin negara hanya boleh dari Dinasti Kim.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Jalan Kim Yo-jong Menjadi Chairwoman
Kim Yo-jong yang berusia 32 tahun kini menjadi sorotan seluruh dunia. Putri dari Kim Il-sung ini dijagokan sebagai pengganti kakaknya, Kim Jong-un, apabila ia tak bisa memerintah lagi.
Berdasarkan kekuatan politik, pengaruh Kim Yo-jong sudah sangat kuat dan pernah ikut bertemu pemimpin dunia seperti Presiden Donald Trump, Xi Jinping, dan Moon Jae-in. Jika melihat faktor konstitusi, jalan Kim Yo-jong menuju kursi kekuasaan juga mulus.
"Kalau kita membaca konstitusi Korea Utara, di sana disebutkan yang berhak menjadi pemimpin itu keturunan Kim, yaitu Kim Il-sung kemudian Kim Jong-il, kemudian diteruskan Kim Jong-un. Jadi siapa pun yang nanti akan menggantikan Kim Jong-un kalau dia meninggal, atau kalau dia tak bisa menjalankan tugas, sebagai pemimpin harus datang dari keluarga Kim," ujar Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro kepada Liputan6.com pada Senin kemarin.
Namun, ada satu permasalahan, yakni struktur masyarakat Korea Utara yang patriarkis. Nur Rachmat memandang bisa jadi ada pihak yang tak mendunkung Kim Yo-jong.
"Korea Utara ini negeri yang patriarkis, senioritas, dan maskulinitas masih berperan sangat besar, sehingga mungkin ada yang tidak suka Kim Yo-jong menjadi pemimpin Korea Utara," ujarnya.
"Ada pendapat juga yang mengatakan boleh jadi militer akan mengambil alih, ada kudeta, karena mereka tidak senang kalau Kim Yo-jong yang perempuan menjadi pemimpin, mereka akan kudeta, lalu mereka akan mendudukan seorang pemimpin baru sampai ada kalangan lain dari keluarga Kim yang dianggap bisa untuk menjadi pemimpin," jelas Nur Rachmat.
Saat ini, Kim Jong-un sebetulnya memiliki kakak lelaki yakni Kim Jong-chul, tetapi ia tak terlalu berperan di politik Korut. Ini berbeda dengan Kim Yo-jong yang aktif menemani Kim Jong-un. Sementara, anak Kim Jong-un dan istrinya, Ri Sol-ju, adalah seorang putri yang masih kecil.
Soliditas Militer
Pakar hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan turut berkata kondisi seperti ini memberi celah bagi militer untuk mengambil kesempatan. Ia berkata soliditas dari militer Korea Utara dibutuhkan agar tak ada friksi.
"Biasanya dalam kondisi darurat saat ini, militer biasanya tergoda juga untuk mengambil alih. Ada kemungkinan ke sana kalau ada perpecahan di internal regime," ujar Guru Besar Politik Internasional UPH Aleksius Jemadu.
Aleksius memandang media Korea Utara tidak ingin mengekspos kondisi Kim Jong-un saat ini, pasalnya ada pengaruh isu kepemimpinan. Ia berkata kondisi saat ini berbeda ketika Kim Jong-il meninggal, sebab saat itu Kim Jong-un sudah disiapkan menjadi pengganti.
"Kalau misalnya dia meninggal, itu menyangkut suatu suksesi yang kelihatannya sangat kritis, karena berbeda dengan ayahnya dulu, suksesi itu sudah dipersiapkan. Kalau ini kan tidak jelas siapa yang menggantikan," ucap Aleksius.
Aleksius menyebut peluang Kim Yo-jong menjadi pemimpin Korea Utara cukup tinggi. Potensi perpindahan kepemimpinan ke luar keluarga Kim juga kecil.
"Tidak mungkin tiba-tiba berpindah ke tangan orang lain, itu agak sulit. Biasanya keluarga dengan dinasti kuat seperti ini, apalagi sudah mulai dari kakeknya dulu, itu tidak terlalu mudah berspekulasi ada orang di luar keluarga yang masuk," jelasnya.
Advertisement