Liputan6.com, Jakarta Amerika Serikat (AS) mengungkapkan penelitian terhadap Remdesivir dari Gilead Sciences menemukan adanya potensi obat tersebut untuk melawan COVID-19.
Dalam penelitian pada 1.063 pasien COVID-19 di rumah sakit, Remdesivir Gilead mempersingkat waktu pemulihan hingga 31 persen atau mencapai 11 hari dibandingkan pada pada mereka yang diberikan perawatan biasa yaitu 15 hari.
Advertisement
"Apa yang telah dibuktikan adalah obat ini dapat memblokir virus tersebut," kata Dr. Anthony Fauci dari National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat seperti dikutip dari AP News pada Kamis (30/4/2020).
Fauci mengatakan, kemungkinan pemerintah AS akan bekerja agar obat tersebut bisa digunakan pada pasien secepat dan setepat mungkin. Dia menambahkan, setiap perawatan potensial lainnya harus diuji terhadap maupun dikombinasikan dengan Remdesivir.
Dikutip dari Huffpost, US Food and Drug Administration (FDA) mengatakan bahwa mereka juga tengah berdiskusi dengan Gilead untuk penggunaan pada pasien. Namun, mereka masih menolak berkomentar soal pemberian persetujuan aturan penggunaan obat.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Diskusi untuk Penggunaan Obat
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump ingin agar obat tersebut bisa secepatnya digunakan. Hal ini dinyatakannya saat diberikan pertanyaan soal izin FDA dalam menggunakan remdesivir secara darurat.
"Kami ingin semuanya aman, tetapi kami ingin melihat persetujuan yang sangat cepat, terutama dengan hal-hal yang bekerja," kata Trump.
Fauci mengatakan, Remdesivir tengah menjadi satu dari tujuh studi utama yang dievaluasi oleh pemerintah AS. Namun tes pada obat ini menjadi yang paling ketat.
Terkait pada mereka yang meninggal dunia, pada kelompok yang diberikan Remdesivir angka kematiannya sebesar 8 persen sementara kelompok pembandingnya sebesar 11 persen. Namun para ilmuwan mengatakan perbedaan ini tidak cukup besar untuk dikatakan bahwa obat tersebut adalah penyebabnya.
Belum ada informasi lebih lanjut mengenai efek samping yang dijabarkan. Fauci mengatakan hasil lengkapnya akan diterbitkan di jurnal medis. Dia mengatakan nilai akhir mungkin bisa berubah sedikit tetapi kesimpulan keseluruhan studi tidak akan berubah.
Advertisement
Penelitian di China Sebelumnya Disebut Gagal
Sesungguhnya, AS bukan satu-satunya negara yang melakukan uji klinis Remdesivir pada pasien yang sakit parah. Di Tiongkok, sebuah penelitian serupa juga sempat dilakukan.
Namun, penelitian di Tiongkok dihentikan karena hanya 237 pasien yang mendaftar padahal targetnya adalah 453. Hasil sebagian studi yang dimuat di jurnal Inggris Lancet menunjukkan bahwa obat ini tidak mempercepat pemulihan. Namun, Fauci mengatakan jumlahnya terlalu kecil untuk dijadikan sebagai studi definitif.
Remdesivir sebelumnya disebut gagal untuk pengobatan Ebola. Namun, para peneliti mencoba merancangnya untuk melawan COVID-19.
Patut dicatat bahwa penelitian ini hanya menguji obat pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan gejala tertentu seperti pneumonia maupun membutuhkan oksigen. Keamanan dan efektivitasnya bagi mereka yang tidak terlalu mengalami gejala belum diketahui.
Usai diumumkannya temuan tersebut, saham Gilead naik lebih dari 5 persen pada hari Rabu dan ditutup di 83,14 dolar serta naik 27 persen sepanjang tahun ini.