Tantangan Terkini Jurnalis Dunia dalam World Press Freedom Day

Memperingati World Press Freedom Day, diskusi seputar dunia jurnalistik diadakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 30 Apr 2020, 19:51 WIB
Ilustrasi jurnalis. (Dreamstimes)

Liputan6.com, Jakarta - Memperingati World Press Freedom Day, Kedutaan Besar Amerika Serikat mengadakan kegiatan diskusi virtual bersama sejumlah panelis dari Indonesia dan AS.

Dalam acara yang berlangsung kurang lebih satu jam tersebut membahas isu terkini terkait tantangan yang dihadapi oleh jurnalis di seluruh dunia termasuk kedua negara.

Diskusi tersebut menghadirkan Gabriel M. Hons-Oliver dari Political Officer Kedutaan Besar Amerika Serikat. Hadir pula Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan dan Ketua Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Asep Setiawan.

Menurut Gabriel, jurnalisme itu sangat penting. Ia mengatakan bahwa pers sangat mendukung demokrasi dunia, termasuk di negaranya.

"Jurnalisme itu penting. Amerika sangat mendukung peran media dalam sistem demokrasi," ujar Gabriel dalam sambungan video virtual dalam diskusi tersebut yang diselenggarakan oleh @america -- Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Jakarta.

Saat ditanya seputar kode etik dan bias media pada zaman kini, Gabriel mengatakan bahwa itu adalah bagian dari kebebasan pers sendiri.

"Kami percaya bahwa jurnalis Amerika Serikat bebas dalam mengekspresikan suaranya dalam bagian demokrasi, Namun terkadang, kerap ditemui bias media," ujar Gabriel.

"Sebab, tiap media dimiliki oleh individu yang berbeda. Bagi saya ini tidak masalah. Ini adalah bagian dari kebebasan pers itu sendiri," tambahnya.

Gabriel M. Hons-Oliver juga percaya bahwa media mainstream sangat memiliki pengaruh di kalangan masyarakat. Ada media sosial yang juga menjadi wadah berbagi informasi.

Namun, Gabriel menyebut tantangannya adalah berita bohong atau hoax. Sebab, ia memahami tak semua individu memiliki kemampuan dalam menganalisis kebenaran berita.

 

Simak video pilihan berikut:


Kode Etik Jurnalistik

(Foto: Skratos1983/Pixabay) Ilustrasi Pers

Dalam diskusi perayaan World Press Freedom Day, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Ketua Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Asep Setiawan menjelaskan tantangan yang di hadapi oleh Dewan Pers Indonesia.

Kode Etik adalah panduan bagi Dewan Pers guna mengawasi media. Asep menjelaskan bahwa fungsi pers itu meliputi penyediaan informasi, edukasi, hiburan dan kontol sosial.

"Fungsi pers itu juga untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi dan Hak Asasi Manusia serta menghormati kebhinekaan." jelas Asep Setiawan..

"Selain itu seorang jurnalis harus memegang prinsip utama dari kode etik jurnalistik yang meliputi akurasi, independensi, objektivitas, seimbang, keadilan, imoarsialitas, menghormati privasi dan akuntabilitas kepada publik."

Senada dengan Asep Setiawan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan juga setuju bahwa pers berfungsi sebagai kontrol sosial.

Ia menyebut satu contoh kasus. Pada saat wabah Virus Corona baru melanda China, media di Indonesia telah memberikan "bunyi alarm" sebagai bentuk peringatan lewat pemberitaannya.

"Hal ini dimaksudkan agar pemerintah tahu dan mengingatkannya. Pers telah mengingatkan sejak Januari lalu. Namun, kenyataannya sinyal itu tidak disadari pemerintah yang baru mulai serius menanggapi pandemi pada Maret 2020," jelas Abdul Manan.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan juga menyoroti tentang tantangan jurnalis Indonesia yang saat ini masih rentan pada kekerasan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya