Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebutkan, larangan mudik bisa dibenarkan manakala negara telah mengumumkan darurat kesehatan. Namun jika itu diterapkan dalam kondisi normal, maka jelas melanggar HAM.
"Dalam kondisi normal, larangan mudik melanggar HAM. Tapi bisa dibenarkan ketika negara sudah dinyatakan darurat kesehatan masyarakat. Legitimasinya di UU 6/2018 berkaitan dg karantina wilayah. Jangan diplesetkan lagi ya. Salam Sehat Selalu," tulis Refly di akun Twitter resminya @ReflyHZ, Jumat (1/5/2020).
Advertisement
Refly menyebut, jika dasar yang disebut justru karantina wilayah maka negara memiliki kewajiban untuk memastikan kebutuhan dasar mereka yang tidak mudik untuk terpenuhi.
Utamanya, kata Refly, mereka yang memang rentan secara ekonomi.
"Ketika dasar yg bisa dirujuk karantina wilayah, negara punya tanggung jawab untuk memastikan kebutuhan dasar mereka yang tak bisa mudik, terutama mereka yg memang rentan secara ekonomi. Misalnya mereka yang sudah hilang pekerjaan tapi tak bisa pulang kampung," tulisnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Mudik Dilarang
Pemerintah memutuskan untuk melakukan pelarangan mudik pada Ramadan dan Idul Fitri untuk wilayah Jabodetabek. Selain itu, larangan tersebut juga berlaku untuk wilayah yang sudah ditetapkan PSBB dan yang masuk zona merah virus Corona.
Pengambilan keputusan ini didasari oleh hasil survei Kementerian Perhubungan yang mendapati 24 persen warga masih berkeinginan untuk melaksanakan mudik Lebaran 2020.
“Larangan mudik ini akan berlaku efektif terhitung sejak hari Jumat, 24 April 2020. Namun untuk penerapan sanksi yang sudah disiapkan akan efektif ditegakkan mulai 7 Mei 2020,” kata Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi yang juga Menteri Perhubungan Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan melalui video conference, Selasa (21/4/2020).
Larangan mudik ini nantinya tidak memperbolehkan lalu lintas orang untuk keluar dan masuk dari dan ke wilayah khususnya Jabodetabek. Namun masih memperbolehkan arus lalu lintas orang di dalam Jabodetabek, atau dikenal dengan istilah aglomerasi.
Selain itu transportasi massal di dalam Jabodetabek seperti KRL juga tidak akan ditutup atau dihentikan operasionalnya, hal ini untuk mempermudah masyarakat yang tetap bekerja khususnya tenaga kesehatan, cleaning service rumah sakit, dan sebagainya.
Advertisement