Liputan6.com, Bandung - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin 2016-2018 Deddy Handoko dan Direktur Utama PT Glori Karsa Abadi Rahadian Azhar, Kamis (30/4/2020).
Keduanya ditahan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, terkait kasus dugaan suap perizinan di Lapas Sukamiskin karena diduga menerima imbalan dari terpidana kasus Alkes Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan.
Advertisement
Anggota Komisi III DPR RI Syarifuddin Sudding mengatakan, kasus yang menjerat mantan Kalapas Sukamiskin itu harus jadi pintu masuk perbaikan sistem dan bersih-bersih di Lapas secara keseluruhan.
"Harus ada evaluasi secara menyeluruh ketika memang ingin perbaikan terhadap lapas. Kemudian ada yang ditangkap oleh KPK, saya kira itu wajar, dan saya kira itu momen dalam konteks perbaikan lapas," kata dia, Jumat (1/5/2020).
Dia menegaskan, penyidik KPK juga harus menelusuri lebih jauh siapa saja yang terlibat dalam kaitan masalah Lapas dan Kalapas. Jadi, kata Sudding, siapapun yang terlibat dalam kasus suap itu harus diusut secara tuntas oleh KPK. Semuanya harus terang benderang kalau memang punya semangat memperbaiki Lapas.
"Jadi siapa yang terlibat didalamnya harus dimintai pertanggungjawaban hukum, apakah Dirjen, apabila ada indikasi keterlibatan. Apakah dia mendapat apa, siapa yang mendapat, semua harus diusut secara tuntas. Jadi semua sama di hadapan hukum harus diterapkan, jadi tidak bisa hanya sebatas Kalapas," terang dia.
Menurut Sudding, KPK harus mengambil peran membongkar semua pihak yang terlibat supaya ada efek jera, lalu kemudian dilakukan pembenahan sistem di Lapas. Dia menambahkan, disitulah fungsi sistem supervisi yang dilakukan KPK.
"Jadi tidak hanya sebatas menangkap orang, menghukum orang, lalu kemudian memperbaiki. Siapa yang terlibat dimintai pertanggungjawaban hukum dan kemudian KPK mengawal supaya tidak terjadi lagi tindak pidana kemudian hari," jelas dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kasus Suap yang Menjerat Eks Kalapas Sukamiskin
Deddy dijerat tersangka kasus dugaan suap perizinan di Lapas Sukamiskin karena diduga menerima imbalan dari terpidana kasus Alkes Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Deddy diduga menerima mobil Toyota Kijang Innova Reborn Luxury 2.0 G A.T warna putih tahun 2016.
Pemberian diduga terkait kemudahan izin keluar lapas yang diberikan tersangka Deddy kepada Wawan baik berupa Izin Luar Biasa (ILB) maupun izin berobat, dengan total izin pada tahun 2016 sampai dengan 2018 sebanyak 36 kali.
Sementara tersangka Rahadian diduga memberikan mobil merek Mitsubishi Pajero Sport dengan nomor polisi B 1187 FJG berwarna hitam atas nama Muahir (anak buah Rahadian) kepada mantan Kalapas Sukamiskin Wahid Husein yang juga tersangka dalam kasus ini.
Pemberian diduga dilakukan sehubungan dengan bantuan yang diberikan oleh Wahid kepada tersangka Rahadian untuk menjadikan tersangka sebagai Mitra Koperasi di LP Madiun, LP Pamekasan, dan LP Indramayu, serta sebagai Mitra Industri Percetakan di LP Sukamiskin.
Atas perbuatannya tersangka Deddy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sebelumnya diberitakan, KPK Kamis (30/4) menahan dua tersangka kasus suap terkait pemberian fasilitas atau perizinan keluar di Lapas Klas I Sukamiskin, Bandung. Keduanya adalah mantan Kalapas Klas I Sukamiskin Bandung periode 2016 sampai dengan Maret 2018 Deddy Handoko (DHA) dan Direktur Utama PT Glori Karsa Abadi Rahadian Azhar (RAZ).
Pada 16 Oktober 2019 lalu, juga telah ditetapkan tiga tersangka lainnya atas kasus suap ditempat yang sama, yakni mantan Kalapas Sukamiskin periode Maret 2018, Wahid Husein (WH), Tubagus Chaeri Wardana (TCW) alias Wawan swasta atau warga binaan, dan Fuad Amin (FA) yang pernah menjabat sebagai Bupati Bangkalan atau warga binaan. Namun, Fuad telah meninggal dunia saat penyidikan berjalan.
Kasus dugaan suap jual beli fasilitas mewah di Lapas Sukamiskin juga menyeret nama Sri Puguh Budi Utami yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM.
Hal itu terungkap dalam fakta persidangan kasus mantan Kalapas Sukamiskin Wahid Husein. Wahid disebut memberikan tas mewah kepada Sri Puguh sebagai hadiah ulang tahun.
Tas mewah itu disebut berasal dari terpidana Fahmi Darmawansyah yang dititipkan lewat Wahid untuk diberikan kepada Sri Puguh pada Juli 2018 lalu. Tas itu, diserahkan melalui ajudan Sri, Hendry Saputra.
Eks Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin Wahid Husen divonis majelis hakim 8 tahun penjara. Wahid terbukti melakukan korupsi dengan menerima suap dari narapidana Fahmi Darmawansyah dalam kasus suap sel mewah.
Dalam putusannya, Wahid disebut telah menerima tas yang bermerek Louis Vuitton. Selain itu dia juga menerima mobil double cabin merek Mitsubishi Triton, sandal, sepatu boots dan uang senilai Rp39,5 juta.
Sebagai imbalan dari pemberian itu, Wahid memberikan sejumlah fasilitas seperti kamar mewah yang berisikan televisi kabel, AC, kulkas dan kasur springbed.
Advertisement
Bantahan Sri Puguh
Sri Puguh Budi Utami yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen PAS Kemenkumham) pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap mantan Kalapas Sukamiskin Wahid Husein. Usai diperiksa, Sri Puguh mengaku ditanya soal sel mewah di Lapas Sukamiskin.
"Masih sama seperti yang dulu. Ditanya bagaimana kami melengkapi seluruh sarana yang ada disana," ucap Sri Puguh di Gedung KPK Kuningan Jakarta Selatan, Selasa (16/10/2018).
Saat dicecar awak media soal adanya pemberian hadiah berupa tas yang diberikan Fahmi Dharmawansyah, dia membantah.
Sri Puguh menegaskan sama sekali tidak pernah menerima apa pun dari suami Inneke Koesherawati dan para tersangka lainnya di kasus ini.
"Enggak ada, enggak ada saya menerima apa pun," tegas dia.
Bahkan Sri juga pernah hadir bersaksi dalam sidang kasus suap fasilitas mewah di Lapas Sukamiskin dengan terdakwa Wahid Husein, Fahmi Darmawansyah, Andi Rahmat, dan Hendri Saputra.
Dalam kesaksiannya, Sri mengaku tidak pernah menerima pemberian tas tersebut.
"Pada saat dipanggil KPK, di situ saya baru tahu ada titipan yang disampaikan kepada sopir saya Mulyana," kata Sri dalam sidang di PN Tipikor Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/1/2019).
Bahkan saat ditemui usai persidangan, Sri tegas menyebutkan bahwa dirinya tidak mengetahui sama sekali soal hadiah tas dari terdakwa Wahid Husein yang dititipkan ajudan Wahid kepada sopirnya, Mulyana.
"Demi Allah, saya Muslim, saya melihat tas itu ada di sini (persidangan) tadi," tegasnya.