Liputan6.com, Jakarta Chris Woodhead, seniman tato asal London bisa membuat tato untu dirinya sejak usia 18. Sejak pandemi COVID-19 berlangsung tato di tubuhnya makin banyak lantaran ia membuat satu tato per hari.
Tubuhnya mulai penuh dengan tato yang menandakan pandemi sudah berlangsung lama. Pandemi belum usai, Chris sudah kehabisan tempat di tubuhnya untuk ditato.
Advertisement
"Saya mulai menato diri saya setiap hari untuk mengisi hari-hari kami yang tampaknya tanpa tujuan," katanya, seperti dikutip dari New York Post.
“Rasanya menarik ketika melihat jumlah tato sangat banyak yang merupakan sebuah proses. Saya akan melanjutkan sampai saya kehabisan ruang sepenuhnya."
Pria berusia 33 ini sudah memiliki sekitar 1.000 tato. Saat ini, kulitnya yang belum ditato sangat terbatas.
"Secara realistis, saya mungkin punya sisa waktu satu bulan untuk ruang tato," katanya kepada BBC.
Dia menyisakan wajahnya untuk tidak ditato guna menghormati bayi yang akan lahir pada Juli mendatang.
Tato Sebagai Terapi
Biasanya, Chris membuat tato gaya stick-and-poke setiap sore dalam rentang waktu yang sama, antara pukul 2 dan 4 sore. Ketika waktu menato tiba, ia ditemani secangkir teh, memasukkan tinta ke dalam wadah, membuka bungkus jarum dan menggambar di kulitnya, katanya kepada BBC.
"Saya mendapati diri saya berputar-putar, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan makan semua makanan di lemari," katanya.
“Jadi ide menato diri setiap hari memberi diriku sedikit arahan. Tanpa struktur, orang benar-benar bingung.”
Banyak tato yang akhirnya ia gambar ada hubungannya dengan pandemi, termasuk menulis "Kapan itu akan berakhir?" di telapak kakinya dan menghormati sistem perawatan kesehatan Inggris, Layanan Kesehatan Nasional, di dadanya.
"Saya menemukan tato sebagai terapi. Saat ini, saya menggambar apa yang ada di pikiran saya," pungkasnya.
Advertisement