Mohammad Nuh: Covid-19 Memaksa Kita untuk Berubah Total

Covid-19 membawa penyesuaian pola komunikasi baru pasca diterapkannya PSBB, yang mengikuti perkembangan teknologi.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 02 Mei 2020, 13:10 WIB
Prof. Dr. Ir. K.H. Mohammad Nuh, DEA selaku relawan COVID-19 Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia tengah berupaya bertahan di tengah guncangan pandemi covid-19, yang mampu meluluhlantakkan berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, hingga merubah banyak hal, termasuk dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi sehari-hari.

"Perubahan merupakan hal yang umum, sementara covid-19 ini memaksa kita untuk berubah secara total. KIta dipaksa harus berubah, karena kalau tidak dipaksa tidak akan berubah," Ketua Dewan Pers Indonesia dan ASEAN, Mohammad Nuh dalam webinar COVID-19 in Indonesia: Survive, Prepare and Actualize, Sabtu (2/5/2020).

Dalam menyampaikan perkembangan covid-19, peran media menjadi penting. Dihadapkan dengan penyesuaian pola komunikasi baru pasca diterapkannya PSBB, yang mengikuti perkembangan teknologi.

"Perkembangan teknologi yang saat ini memfasilitasi masyarakat selama PSBB, berkembang jauh lebih cepat dibandingkan perubahan pada aspek yang lain, termasuk policy, termasuk di dunia bisnis, kesehatan, ekonomi dan seterusnya. Teknologinya sudah nyampek, tapi policy-nya belum nyampek," ujarnya.

Sehubungan dengan itu, Mantan Menteri Pendidikan ini menjelaskan, dunia jurnalisme juga perlu melakukan penyesuaian dengan membangun tradisi baru.

"Membangun tradisi baru dengan cara meningkatkan kualitas kemerdekaan pers, dan kita perkuat fungsi media baik sebagai edukasi, pemberdayaan, pencerahan, maupun hiburan, dan ujungnya untuk menguatan nasional kita," jelasnya.

Mohammad Nuh menambahkan, jika dalam situasi seperti media tidak mampu bertahan, maka dampaknya akan jauh lebih serius. Sebab, tidak akan ada yang akan memberikan informasi, khususnya terkait perkembangan covid-19.

"Bisa dibayangkan, kalau medianya tidak kuat di dalam masa covid-19 ini, saya kira bisa jauh lebih banyak lagi (imbasnya), karena tidak ada media mainstream yang bisa memberikan pencerahan yang bisa melakukan pemberitaan yang benar," ujarnya.


60 Persen Industri Kena Dampak Virus Corona

Pekerja merakit mobil Mercedes-Benz S-class di pabrik Mercedes, Sindelfingen, Jerman, Kamis (30/4/2020). Mulai 27 April 2020, Mercedes-Benz kembali membuka jalur produksi yang sebelumnya ditutup karena pandemi virus corona COVID-19. (AP Photo/Matthias Schrader)

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, mengatakan bahwa 60 persen industri kecil, menengah dan besar terpukul besar akibat dampak covid-19, namun 40 persen lainnya alami permintaan yang tinggi.

Oleh karena itu, dirinya akan terus mendorong lebih agar kontribusi untuk manufaktur Produk Domestik Bruto (PDB) industri terhadap perekonomian semakin tinggi, pihaknya akan mengaitkan dengan industri-industri yang akan atau telah mengimplementasikan industri 4.0.

“Nah ini ada lima industri yang kita prioritaskan untuk didorong 4.0, tentunya yang pertama Industri otomotif, untuk informasi bahwa Industri otomotif dalam kondisi saat ini masih melakukan ekspor walaupun permintaan ekspornya berkurang ini wajar saja, kedua industri elektronik, yang ketiga Industri makanan dan minuman, keempat industri petrokimikel, kelima industri tekstil dan produk-produk tekstil,” kata Agus dalam acara Ngopi Digital, Selasa (21/4/2020).

Produk-produk itulah  yang secara statistik telah terbukti memberikan kontribusi terbesar bagi PDB dan juga melakukan penyerapan tenaga kerja secara besar dari sektor industri manufaktur.

Kendati begitu tentu jangan disalahartikan bahwa sektor industri-industri lain tidak mendapatkan perhatian.

“Kita lihat ada industri kategori demand yang tinggi dan suffer (menderita). Nah ini Pemerintah tidak boleh hanya melakukan pendampingan atau perhatian pada yang suffer saja, karena  kita juga harus bisa memastikan industri dengan demand yang tinggi ini bisa meet the demand, demand kebutuhan yang ada di pasar itu bisa sepenuhnya disuplai  oleh industri dalam negeri,” ujarnya.  


Tantangan Sektor Industri

Para pekerja merakit mobil Mercedes-Benz S-class di pabrik Mercedes, Sindelfingen, Jerman, Kamis (30/4/2020). Mulai 27 April 2020, Mercedes-Benz kembali membuka jalur produksi yang sebelumnya ditutup karena pandemi virus corona COVID-19. (AP Photo/Matthias Schrader)

Maka dari itu, Menteri Agus melihat sebuah tantangan untuk sektor industri agar lebih meningkatkan manajemen industri ditengah pandemi virus corona ini.

Meskipun ada industri-industri yang menderita dibalik wabah ini, tapi ada industri lain yang mengalami permintaan yang tinggi, yakni alat kesehatan berupa Alat Pelindung Diri (APD), masker, sarung tangan medis, farmasi dan fitofarmaka, tentunya industri makanan dan minuman.

“Sesungguhnya demand yang tinggi ini bisa kita lihat adalah kebanyakan berkaitan dengan Industri alat keselamatan dan industri farmasi, makanan dan minuman. Ini adalah momentum  yang tepat untuk kebangkitan kita baik dari industri alat kesehatan, makanan dan minuman, obat dan vitamin,” ujarnya.

Sementara untuk industri yang menderita, seperti industri logam, regulator, peralatan listrik, kabel, semen, keramik, kaca,  elektronik dan peralatan telekomunikasi, otomotif, karet, mesin, alat berat, pesawat terbang, kereta api, kapal, tekstil, serta meubel dan kerajinan. Menurutnya penanganannya juga berbeda, yang paling penting mereka tidak semakin terpuruk.  

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya