Liputan6.com, London - Suleman mengingat masa hidupnya pada 2009, saat masih berusia 18 tahun, di mana ia dikirim ke Penjara HM Glen Parva di dataran tengah Inggris.
Pria yang kini telah menghirup udara bebas itu berkisah tentang salah satu tantangan terbesar yang dia hadapi saat melaksanakan Ramadan di dalam penjara Inggris.
Advertisement
Tantangan itu adalah mengetahui kapan puasa dimulai dan berakhir.
"Satu hal yang tidak kamu miliki di penjara adalah jam di selmu," katanya kepada Al Jazeera, dikutip pada Minggu (3/5/2020).
"Anda mungkin memiliki yang komunal di ruang asosiasi. Tetapi di penjara, jam adalah hal terakhir yang Anda inginkan, mengingat waktu berjalan sangat lambat," ujarnya.
Untuk memulai puasa sebelum fajar, tahanan Muslim diberi paket sereal, yoghurt, buah, dan kurma sebagai panganan sahur.
Pada jam 5 sore, atau waktu berbuka, para tahanan akan mengonsumsi makanan hangat mereka.
"Mereka selalu memberi Anda makanan di dalam wadah yang akan membuatnya tetap hangat, yang seharusnya tidak menjadi lembek atau berjamur karena itu berada di sel Anda selama beberapa jam," kata Suleman.
"Tapi biasanya, mereka akan memberikan kari dan nasi yang benar-benar basah di dalam bak. Mungkin itu makanan terburuk yang bisa kamu dapatkan ... Jika orang mengirim uang dari luar, barulah kamu mampu membeli makanan sendiri."
Untuk mengetahui waktu berbuka, ketika puasa berakhir, para tahanan akan menggunakan EastEnders, sebuah tayangan opera sabun Inggris yang populer, sebagai langkah untuk menentukan kapan harus mulai makan.
"Kami akan tahu jam berapa ini akan dimulai, jam berapa itu akan selesai. Kami akan menggunakan panduan TV untuk menilai jam berapa sekarang, untuk berbuka puasa."
Simak video pilihan berikut:
Kisah Narapidana Muslim Lainnya
Adam, seorang Muslim Inggris lain yang juga menghabiskan waktu di penjara pada 2009, mengatakan: "Saya tidak akan berbohong, Ramadan pertama sangat sulit ketika saya pertama kali masuk. Penjara tempat saya berada adalah 90 persen berkulit putih."
Sementara para tahanan melakukan salat lima waktu harian mereka di sel-sel, salat Jumat diizinkan untuk berlangsung di aula peribadatan penjara.
"Beruntung bagi saya, saya berada di Leicester yang merupakan kota yang sangat multikultural. Petugas penjara lebih memahami Islam," kata Suleman.
"Tetapi di penjara lain yang tidak multikultural, di mana tidak ada proporsi tinggi narapidana Muslim, Anda tidak memiliki pemahaman atau faktor kenyamanan ketika datang untuk mempraktikkan agama di penjara."
"Itu mungkin dianggap sebagai bentuk ekstremisme. Orang yang salat berjemaah akan dipisaj karena jumlah mereka terlalu banyak, walaupun salat berjemaah itu benar-benar normal."
Kecurigaan yang dihadapi beberapa tahanan Muslim adalah subjek dari laporan baru yang menggarisbawahi kurangnya pemahaman agama di penjara, khususnya di sekitar bulan Ramadan.
Reporter: Yohana Bellinda
Advertisement