HEADLINE: 169 Anggota DPR Belum Lapor LHKPN, Perlu Pidana dan Denda Tinggi Agar Disiplin?

Tingkat kepatuhan anggota DPR terhadap LHKPN periodik 2019 tercatat paling rendah ketimbang wajib lapor dari bidang lain.

oleh Nafiysul QodarNanda Perdana PutraFachrur RozieYopi Makdori diperbarui 05 Mei 2020, 00:00 WIB
Suasana penutupan sidang paripurna DPR ke-6 masa persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/12/2019). Rapat menyampaikan laporan Baleg DPR RI terhadap Rancangan Peraturan DPR Tentang Tata Cara Penyusunan Prolegnas. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menutup masa penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) periodik pelaporan 2019. Namun, masih banyak penyelenggara negara yang belum melaporkan kekayaannya.

KPK menyampaikan, setidaknya terdapat 169 anggota DPR periode 2019-2024 yang belum melaporkan harta kekayaannya. Padahal KPK telah memberikan tambahan masa penyampaian LHKPN dari semula 31 Maret 2020 menjadi 30 April 2020.

Tingkat kepatuhan anggota DPR terhadap LHKPN periodik 2019 tercatat paling rendah ketimbang wajib lapor dari bidang lain. Tercatat, dari total 575 anggota DPR RI periode 2019-2024, terdapat 406 anggota atau sekitar 70 persen yang telah melaporkan harta kekayaannya.

Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin menyatakan, pimpinan DPR sejatinya telah mengimbau seluruh anggota dewan agar patuh melaporkan LHKPN. Imbauan itu telah disampaikan secara lisan dan tertulis.

Namun politikus Partai Golkar itu mengaku tidak tahu persis apa kendala 169 anggota DPR tersebut, sehingga belum menyampaikan LHKPN ke KPK.

"Kendala tanya ke pribadi masing-masing, saya kan enggak tahu pribadi tiap orang seperti apa. Karena itu kan bukan kewajiban institusi," ujar Azis kepada Liputan6.com, Senin (4/5/2020).

DPR tidak memberikan sanksi terhadap anggotanya yang belum melaporkan LHKPN ke KPK. Sebab, menurut Azis, kewajiban LHKPN dibebankan kepada masing-masing individu, bukan institusi.

"Undang-undang itu bebannya ke pribadi masing-masing, bukan ke institusi. Seperti NPWP, itu beban pribadi atau perusahaan. Nah seperti itu," katanya.

Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK bidang Pencegahan, Ipi Maryati mengatakan, sejak diluncurkan pada 2017, aplikasi e-LHKPN memungkinkan bagi penyelenggara negara untuk mengisi dan menyampaikan laporan kekayaannya secara elektronik kapan dan di mana saja.

Saat ini, kata dia, seluruh penyelenggara negara atau wajib lapor telah memiliki akun pada e-LHKPN. Dia memastikan, aplikasi e-LHKPN juga dalam keadaan normal, tidak ada kendala. Tim KPK juga selalu terbuka membantu penyelenggara negara yang kesulitan mengisi LHKPN.

"Dengan pertimbangan tersebut, KPK memandang tidak ada alasan bagi penyelenggara negara untuk tidak menyampaikan laporan kekayaan secara elektronik," kata Ipi kepada Liputan6.com, Senin (4/5/2020).

Ipi mengungkapkan, 169 anggota DPR yang belum melaporkan LHKPN per 30 April 2020 adalah gabungan anggota dewan yang baru dilantik maupun anggota dewan yang kembali dilantik dalam jabatan tersebut.

Infografis 169 Anggota DPR Belum Laporkan Harta. (Liputan6.com/Abdillah)

Sesuai Surat Edaran KPK No 100 Tahun 2020, KPK tidak lagi memperpanjang masa penyampaian LHKPN periodik tahun laporan 2019. KPK hanya memperpanjang masa penyampaian LHKPN selama satu bulan, dari semula berakhir pada 31 Maret 2020 menjadi 30 April 2020.

"Tetapi KPK akan tetap memproses laporan kekayaaan yang disampaikan setelah batas waktu tersebut, namun dengan status pelaporan ‘terlambat lapor’," ujar Ipi.

Dia menyatakan, tidak ada sanksi pidana terhadap penyelenggara negara yang tidak patuh melaporkan LHKPN secara rutin. Sesuai Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara negara yang Bersih dan Bebas KKN, mereka yang tidak melaporkan LHKPN hanya akan dikenai sanksi administratif.

"Selain itu, pasal 21 ayat (1) Peraturan KPK No 7 tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, KPK dapat memberikan rekomendasi kepada atasan langsung atau pimpinan lembaga tempat penyelenggara negara berdinas untuk memberikan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku," jelas Ipi.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Ukuran Integritas

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (kedua kiri) didampingi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kiri), Direktur Pusako Universitas Andalas, Feri Amsari (kedua kanan), dan Direktur LHKPN KPK, Isnaini dalam diskusi ‘Pantang Absen LHKPN’ di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (2/8/2019). (Liputan6.com/Herman Zakhari

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mempertanyakan integritas anggota DPR yang tidak patuh menyampaikan LHKPN ke KPK. Menurut dia, fakta ini menunjukkan bahwa banyak anggota DPR yang tidak memiliki integritas.

"Karena kan mengukur nilai integritas pejabat publik itu salah satu indikatornya dengan membuka web KPK dan melihat kepatuhan LHKPN," kata Kurnia kepada Liputan6.com, Senin (4/5/2020).

Menurut Kurnia, salah satu faktor yang menyebabkan penyelenggara negara malas melaporkan harta kekayaannya adalah lantaran tidak adanya sanksi pidana yang diterima. Para penyelenggara negara yang tidak patuh LHKPN hanya akan mendapatan sanksi administratif.

Kurnia juga menilai, bahwa bentuk sanksi administratif yang diterapkan selama ini tidak jelas bentuknya, begitu juga evaluasinya. Karena itu, dia berharap penentu kebijakan memikirkan ulang strateginya agar semua penyelenggara negara bisa patuh melaporkan harta kekayaannya.

"Mungkin dapat dengan mencantumkan hukuman yang lebih jelas ketika ada penyelenggara negara yang tak patuh LHKPN. Mungkin pidana denda yang tinggi, bisa ratusan juta dikenakan kepada yang tak patuh LHKPN," ujarnya.

Dia berharap, ke depan paradigma tentang kepatuhan penyelenggara negara melaporkan LHKPN berubah. Menurut dia, sudah bukan waktunya lagi KPK yang 'teriak', tetapi pimpinan instansi terkait yang harus lebih aktif memerintahkan jajarannya agar patuh menyampaikan LHKPN.

"Terhadap anggota DPR yang tidak patuh, misalnya dia tidak bisa diterima jadi anggota DPR sebelum lapor LHKPN, itu sah-sah saja, sanksi seperti itu memungkinkan. Atau penundaan janji, penundaan kenaikan pangkat untuk penyelengara negara yang lain," ucap Kurnia.


Kepatuhan LHKPN 2019

Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). Pemprov Papua merupakan daerah yang memiliki risiko korupsi tertinggi dengan. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, kepatuhan LHKPN periodik tahun pelaporan 2019 per 1 Mei 2020 mencapai 92,81 persen. KPK sendiri telah memperpanjang masa penyampaian LHKPN dari semula batas akhir hanya sampai 31 Maret 2020 menjadi 30 April 2020.

Sesuai batas waktu tersebut, KPK mencatat tingkat kepatuhan LHKPN nasional untuk bidang eksekutif sebesar 92,36 persen. Dari total 294.560 wajib lapor (WL), sebanyak 272.055 WL yang telah melapor dan sisanya 22.505 belum menyampaikan laporannya.

Kepatuhan LHKPN dari bidang yudikatif sebesar 98,62 persen. Dari total 18.885 WL, sebanyak 18.624 WL telah melapor dan sisanya 261 belum lapor.

Tingkat kepatuhan LHKPN dari bidang legislatif sebesar 89,39 persen. Dari total 20.271 WL, sebanyak 18.120 WL telah lapor dan sisanya 2.151 belum lapor.

Sedangkan, tingkat kepatuhan LHKPN dari sektor BUMN/D sebesar 95,78 persen. Dari total 30.642 WL, sebanyak 29.350 WL telah melapor dan sisanya masih ada 1.292 WL yang belum melaporkan kekayaannya.

KPK juga mencatat per 1 Mei 2020 terdapat 704 instansi dari total 1.396 instansi di Indonesia atau sekitar 50 persen instansi yang telah memenuhi kepatuhan LHKPN 100 persen.

Pada bidang eksekutif di tingkat pemerintah pusat, dari 51 pejabat setingkat menteri dan wakil menteri pada kabinet Indonesia Maju tercatat satu Penyelenggara Negara (PN) yang merupakan WL periodik belum memenuhi kewajiban LHKPN.

Demikian juga dengan satu PN yang merupakan wajib lapor khusus di Wantimpres belum menyampaikan laporannya. Sedangkan, untuk 21 staf khusus Presiden dan Wakil Presiden tercatat telah memenuhi kewajiban lapor 100 persen.

Di tingkat pemerintah daerah, KPK mencatat dari total 965 kepala daerah meliputi gubernur, bupati/wali kota dan wakil, terdapat 25 kepala daerah yang belum menyampaikan laporan kekayaannya.

KPK juga mencatat 10 WL yang terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua MPR RI telah menyampaikan laporan kekayaannya 100 persen.

Sementara, dari 575 WL pada lembaga DPR RI, sebanyak 406 WL atau sekitar 70 persen telah melapor dan sisanya masih terdapat 169 WL yang belum lapor.

Sedangkan, untuk DPD RI tercatat kepatuhan 96 persen. Dari 136 WL pada DPD RI masih terdapat 5 WL yang belum menyampaikan laporannya dan sebanyak 131 sudah melaporkan kekayaannya.

"KPK mengimbau kepada PN baik di bidang eksekutif, yudikatif, legislatif maupun BUMN/D yang belum menyampaikan laporan kekayaannya agar tetap dapat memenuhi kewajiban LHKPN," ujar Plt Jubir KPK bidang Pencegahan, Ipi Maryati dalam keterangan tertulisnya, Jumat 1 Mei 2020. 

Sebagai salah satu instrumen penting dalam pencegahan korupsi, KPK meminta PN untuk mengisi LHKPN-nya secara jujur, benar dan lengkap.

"KPK juga tetap menerima LHKPN yang disampaikan setelah batas waktu, namun dengan status pelaporan 'Terlambat Lapor'," kata Ipi.

Melaporkan harta kekayaan merupakan kewajiban bagi setiap PN sesuai ketentuan pasal 5 ayat 2 dan 3 Undang-undang No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.

Undang-Undang mewajibkan PN bersedia untuk diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. PN juga wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.

KPK sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, berwenang untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya