Presiden Didesak Tolak Pembahasan Revisi UU Mahkamah Konstitusi

Ia mengatakan, revisi UU MK tidak mendesak di tengah penanganan Covid-19 saat ini serta kental nuansa konflik kepentingan.

oleh Rinaldo diperbarui 04 Mei 2020, 20:47 WIB
Banner Gedung Mahkamah Konstitusi (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Save Mahkamah Konstitusi (MK) mendesak agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi menolak membahas perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK.

"Koalisi Save Mahkamah Konstitusi mendesak agar Presiden Joko Widodo menolak membahas perubahan UU MK dan DPR menghentikan proses legislasi yang tidak berkualitas dan produktif serta fokus pada penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya," ucap anggota koalisi Kurnia Ramadhana di Jakarta, Senin (4/5/2020).

Lebih lanjut, Kurnia yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu mengatakan terdapat empat permasalahan mendasar terkait revisi UU MK tersebut.

Pertama, ia mengatakan revisi UU MK tersebut tidak mendesak di tengah penanganan Covid-19 saat ini.

"Sempat disinggung pada bagian awal, bahwa pemerintah saat ini tengah berfokus pada isu kemanusiaan akibat pandemi Covid-19. Data per 1 Mei 2020 saja setidaknya 10.551 orang sudah positif terdampak pandemi ini," kata dia seperti dikutip Antara.

Untuk itu, kata dia, yang semestinya dilakukan DPR adalah mengarahkan segala fungsinya baik legislasi, anggaran, dan pengawasan pada penanganan permasalahan kesehatan masyarakat tersebut, bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial.

Kedua, ia mengatakan revisi UU tersebut kental nuansa konflik kepentingan.

Menurutnya, dalam RUU perubahan ini dapat dikatakan sangat kental akan nuansa konflik kepentingan, baik itu bagi DPR atau pun Presiden itu sendiri. Sebab, saat ini MK sedang menyidangkan dua undang-undang yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dihujani banyak kritik.

"Sedangkan jika menelisik substansi RUU ini justru yang diuntungkan adalah MK itu sendiri, sehingga publik khawatir ini akan menjadi bagian tukar guling antara DPR, Presiden, dan MK," tuturnya.

Ketiga, ia menilai isi RUU tersebut tidak substansial.

"Praktis ketika melihat poin-poin perubahan yang digagas oleh DPR, publik tidak dapat menemukan substansi penting bagi kelembagaan MK itu sendiri, praktis hanya menyoal masa jabatan Hakim MK," ujar Kurnia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Tidak Melibatkan Masyarakat

Ia menjelaskan jika dibandingkan dengan lembaga peradilan lainnya seperti Mahkamah Agung publik akan menemukan perbedaan yang cukup mencolok.

"Syarat untuk menjadi seorang Hakim Agung minimal berusia 45 tahun, jauh lebih muda dibandingkan poin dalam RUU a quo, yakni 60 tahun. Apalagi tren di banyak negara, rata-rata pengaturan mengenai minimal usia hakim konstitusi ada di 35-45 tahun. Sementara usia 65-75 tahun justru usia untuk pensiun," kata Kurnia.

Ia menegaskan untuk mengukur integritas dan kapabilitas tidak bisa hanya mengandalkan usia seseorang, akan lebih baik jika poin perubahan terletak pada syarat kualitas dari seorang Hakim MK.

Di sisi lain, kata dia, isu yang lebih krusial adalah mengenai perluasan kewenangan MK untuk melakukan constitutional complaint (pengaduan konstitusional) dan constitutional question (pertanyaan konstitusional).

"Selain itu, isu mengenai pengaturan hukum acara MK secara lebih komprehensif pun lebih krusial. Hal ini lebih penting untuk dibahas guna mengoptimalkan peran MK dalam menyelesaikan dan memulihkan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh penyelenggara negara," ujar Kurnia.

Terakhir, kata dia, pembahasan revisi UU tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat.

"Naskah perubahan RUU ini semakin menambah catatan panjang produk legislasi DPR yang cacat formil dan tak sejalan dengan kebutuhan dan kehendak publik. Sebab, isu legislasi ini praktis tidak pernah melibatkan masyarakat, atau bahkan mungkin lembaga MK itu sendiri," ungkap dia.

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya