Palestina Perpanjang Lockdown Corona COVID-19, Lebaran Masih Dalam Pembatasan

Palestina memutuskan melanjutkan lockdown akibat Virus Corona COVID-19 hingga melewati lebaran tahun ini. Tepatnya sampai 5 Juni.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 06 Mei 2020, 10:13 WIB
Juru masak Palestina mengenakan sarung tangan dan masker bersiap menggoreng falafel di sebuah restoran lokal di kota Hebron, Tepi Barat yang diduduki pada 29 April 2020. Pada bulan suci Ramadan, falafel sering dimakan sebagai hidangan buka puasa. (HAZEM BADER / AFP)

Liputan6.com, Ramallah - Situasi Lebaran tahun ini di Palestina mungkin tak seperti biasanya. Sebab pemerintahan Mahmoud Abbas resmi memperpanjang periode lockdown di Palestina hingga 5 Juni mendatang. 

Ini artinya Palestina akan merasakan bulan Ramadan dan Idul Fitri dalam keadaan lockdown. Sekolah dan masjid ditutup, keramaian juga tak dibolehkan selama lockdown

Dilaporkan Arab News, Selasa (5/2/2020), kebijakan lockdown Palestina pertama diumumkan dua bulan lalu dan warga tak boleh keluar rumah kecuali keperluan penting. Masjid dan institusi pendidikan juga tutup.

Perpanjangan lockdown ini artinya hingga bulan Ramadan berakhir masyarakat masih dalam upaya pembatasan guna membendung Virus Corona COVID-19.

Sebelumnya, lockdown dilonggarkan bulan lalu untuk mengakomodasi dunia bisnis.

Pada hari Minggu kemarin, pemerintah Palestina juga membolehkan puluhan buruh Palestina untuk kembali ke Israel untk bekerja. Sebelumnya, perbatasan Yordania dan Israel ditutup.

Restoran-restoran di Gaza juga sudah boleh buka usai lockdown dilonggarkan.

Palestina memiliki 345 kasus Virus Corona jenis baru dan ada dua kematian di Tepi Barat.

Di Jalur Gaza yang dikendalikan Hamas, ada 17 kasus yang dikonfirmasi positif. Masjid dan sekolah di Gaza juga tutup, namun Hamas tak menerapkan lockdown total.

Sementara, menurut data CoronaTracker ada 16.268 kasus positif Virus Corona di Israel. Di antara jumlah itu, 10.223 sembuh dan 237 meninggal.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Italia Akhiri Lockdown Terpanjang di Eropa Akibat Virus Corona COVID-19

Foto udara pagi pada 30 Maret 2020, jalan utama Piazza Venezia dan Via del Corso yang sepi selama penerapan penutupan nasional atau lockdown di Roma. Roma menjelma bak kota mati pasca pemerintah Italia memberlakukan aturan lockdown untuk mencegah penyebaran virus corona. (Elio CASTORIA/AFP)

Berbanding terbalik, Italia justru telah mencabut aturan lockdown atau karantina terpanjang di Eropa pada Senin 4 Mei. Sebanyak 4,5 juta warga Italia pun kembali bekerja setelah dua bulan berada di rumah untuk mencegah penyebaran Virus Corona COVID-19.

Dengungan mobil, bus, dan sepeda motor menunjukkan peningkatan perjalanan, tetapi lalu lintas masih terasa lebih lengang dibandingkan masa sebelum Virus Corona jenis baru menyerang pada Februari 2020. 

Selain itu, pemerintah telah membolehkan taman-taman dibuka kembali, sehingga memberi anak-anak kesempatan untuk berlarian, sementara kerabat dan keluarga dapat saling bertemu kembali.

Namun, untuk mencegah bangkitnya pandemi Virus Corona COVID-19, warga tetap diharuskan menjaga jarak dan sebagian besar toko masih tutup hingga 18 Mei. Restoran dan bar hanya dapat melayani pesan antar, sedangkan sekolah, bioskop, dan teater akan tetap tutup sampai waktu yang belum ditentukan. 

Gianluca Martucci adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa kembali bekerja sejak karantina nasional diberlakukan di Italia pada 12 Maret lalu.

"Sangat senang untuk kembali (bekerja), tetapi dunia telah benar-benar berubah," kata dia.

Perusahaan tempat dia bekerja biasanya menyelenggarakan pernikahan dan acara perusahaan, tetapi acara-acara itu sudah lama dibatalkan dan perusahaan menyesuaikan diri dengan menawarkan katering untuk dibawa pulang.

Meskipun senang bisa kembali berkecimpung dalam bisnis, Martucci cemas bahwa penularan virus mungkin akan terjadi lagi karena semakin banyak orang yang berbaur.

"Pemerintah sejauh ini sangat bijaksana, tetapi saya khawatir kita memulai terlalu dini. Saya tidak tahu apakah negara ini bisa selamat dari gelombang kedua (penyebaran Virus Corona)," ujar dia, seperti kutip dari Antara, Selasa (5/5/2020).


Gelombang Kedua COVID-19

Petugas medis yang bekerja di Rumah Sakit Palang Merah di Wuhan,, China pada 28 Februari 2020. Virus Corona yang bermula di China tengah pada Desember 2019 kini menyebar secara global di mana lima negara terdampak paling besar, yakni Cina daratan, Korea Selatan, Iran, Italia dan Jepang (STR/AFP)

Dengan hampir 29.000 kematian akibat COVID-19 sejak 21 Februari, Italia memiliki jumlah korban tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Selain itu, perhitungan kematian dan infeksi baru setiap hari telah melambat dari yang diperkirakan pemerintah dan mendorong Perdana Menteri Giuseppe Conte untuk mengadopsi pendekatan perlahan-perlahan untuk mengakhiri masa karantina, yang akan terus disesuaikan tergantung pada tren penularan.

"Kami masih dalam pergolakan penuh melawan pandemi," kata Conte dalam sebuah wawancara dengan surat kabar La Stampa pada Minggu (3/5), menekankan apa yang disebut "fase 2" dari karantina "tidak harus dilihat sebagai sinyal bahwa kita semua bebas".

Pelonggaran karantina telah dirusak oleh kurangnya kejelasan tentang apa tepatnya kegiatan yang diizinkan, dan bahkan rumah siapa saja yang dapat dikunjungi.

Kebingungan kemudian diperburuk oleh pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah selama akhir pekan, yang dengan cepat menjadi sasaran kecaman dan cemoohan yang meluas di media sosial.

Pedoman itu menjabarkan bahwa kunjungan bahkan ke kerabat jauh akan diizinkan, termasuk untuk menemui anak-anak sepupu, atau sepupu pasangan, serta kunjungan ke siapa pun yang memiliki "ikatan kasih sayang yang stabil".

Namun pedoman itu tidak menjelaskan apakah persahabatan dianggap sebagai ikatan kasih sayang yang stabil, sampai pesan yang seharusnya tidak dilaporkan ke media dari kantor perdana menteri menjelaskan bahwa kunjungan ke teman masih tidak diizinkan.

Conte mengatakan bahwa "fase 2" akan mencakup lebih banyak pengujian untuk melihat siapa yang terinfeksi virus, dengan 5 juta alat tes dikirim ke daerah dalam dua bulan ke depan.

Selain itu, mulai minggu ini sekitar 150.000 tes darah akan dilakukan untuk mengetahui berapa banyak orang Italia yang telah mengembangkan antibodi terhadap virus tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya