Liputan6.com, Demak - Mari berkisah tentang kemiskinan dan martabat. Kisah kita ambil dari pelosok Demak, beberapa kilometer dari ibu kota Jawa tengah, Semarang.
Langkahnya masih gagah meski usianya menginjak 86 tahun ini. Mbah Saliyem yang lahir pada 10 Januari 1934 sebatang kara tinggal di gubuk pinjaman tetangga di tengah kebun. Terlindung rumpun rumpun bambu yang rimbun.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, tangan keriputnya memegang lampu teplok. Teplok adalah lampu berbahan bakar minyak tanah, biasa ditempel di dinding.
Baca Juga
Advertisement
"Damar ceplike rusak. Niki ajeng nyuwun tulung didandoske wonten tangga. (Lampu teplok rusak, mau minta tolong tetangga untuk memperbaiki),” kata Mbah Saliyem.
Biasanya penerangan di rumahnya terbantu oleh aliran listrik tetangga, tetapi beberapa hari terakhir lampu tak menyala sehingga ia mengandalkan lampu teplok.
Namun tiba-tiba langkahnya berbalik saat melihat ada rombongan hendak menyambangi rumahnya yang berdinding anyaman bambu. Sebuah rumah, atau sebuah gubuk?
Ya, gubuk berukuran 3 x 4 meter itu dihuni mbah Saliyem bertahun tahun. Lantai tanah yang lembab cenderung becek. Ini menjadi salah satu indikator kemiskinan secara nasional. Sinar matahari siang menembus masuk dalam rumah melalui lubang atap rumahnya yang bolong.
Dalam bilik itu, ada sebuah dipan tua yang kelihatan rapuh. Untuk pembatas, mbah Saliyem memanfaatkan kain bekas yang sudah sobek disana sini dan compang-camping. Hasilnya? Mbah Saliyem jadi memiliki ruang tidur dan dapur yang terpisah. Kreativitas dalam balutan kemiskinan.
Simak video pilihan berikut
Pak Kades Jadi Andalan
Mari kita melihat isi dapurnya. Di atas tungku masih ada sebuah wajan yang pantatnya menghitam karena jelaga. Wajan itu ditutup dengan tutup panci. Saat dibuka, ternyata berisi sayur tahu yang entah sudah berapa lama. Bau agak asem dan busuk menerpa hidung, bersumber dari wajan itu.
"Niku sayur tahu, wau tak ngge sahur.(Itu sayur tahu, tadi buat sahur)," kata Mbah Saliyem sambil tersenyum.
Meski tua renta ternyata Mbah Saliyem masih kuat menjalankan puasa sehari penuh. Namun, ketika sakit atau membutuhkan beras, Mbah Saliyem tak jadi cengeng. Biasanya menemui perangkat desa untuk minta bantuan secara pribadi.
"Pak Lurah kaliyan andhahane sae kok. (Pak lurah dan aparat desa baik kok),” katanya.
Kepala Desa Kunir Kecamatan Dempet Kabupaten Demak Jawa Tengah, M. Romli menyatakan prihatin atas nasib Mbah Saliyem. Ia menyayangkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) di desanya yang tak tepat sasaran. Banyak rumah tangga mampu yang menerima bantuan sementara para lansia tak menerima fasilitas apa-apa.
"Mbah Saliyem sudah diajukan usulan untuk Rumah Tangga Layak Huni (RTLH) mudah mudahan segera dapat,” kata Romli kepada Liputan6.com, Rabu (06/05/2020).
Gubuk yang dihuni Mbah Saliyem jauh dari kriteria sehat. Tak ada kamar mandi atau toilet untuk membersihkan diri. Buang air besar pun dilakukan Mbah Saliyem di bawah pohon bambu.
Romli menjelaskan bahwa pemerintahan desa saat ini tengah aktif melakukan labelisasi penerima PKH di depan rumah warga yang terdaftar. Hasilnya mengejutkan.
“Banyak masyarakat berekonomi kuat yang mendapat fasilitas. Saya berharap ada peninjauan ulang pendataan PKH sehingga bisa tepat sasaran,” katanya.
Advertisement