Tanpa Hitungan Tepat, Usulan Cetak Uang Rp 600 Triliun Sangat Berbahaya

Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah mengusulkan agar BI mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.

oleh Tira Santia diperbarui 06 Mei 2020, 17:45 WIB
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menegaskan BI tidak akan cetak uang kartal sebesar Rp 600 triliun untuk penanganan pandemi Corona Covid-19 . Pasalnya, pencetakan uang bukan merupakan praktik kebijakan yang lazim dan prudent dilakukan oleh bank sentral.

Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto sangat setuju dengan langkah BI tersebut. Ia menyebut langkah yang dilakukan oleh BI merupakan langkah yang tepat.

“Langkah Bank Indonesia menolak skema ini saya rasa sudah cukup tepat. Jadi kuantitatif itu tidak harus mencetak atau menambah jumlah uang yang beredar langsung, cetak uang ditambah kemudian langsung digunakan untuk stimulus berbagai macam melalui instrument fiskal maupun instrumen lainnya, itu cara-cara yang menurut saya kurang tepat,” kata Eko dalam diskusi digital Indef, Rabu (6/5/2020).

Sebetulnya menurut Eko, apabila ada usulan cetak uang langsung semacam itu hanya akan menyebabkan inflasi, dalam kebijakan moneter di Indonesia upaya ini dulu pernah dilakukan pada masa Orde Lama dan inflasi meroket sampai 600 persen saat itu.

“Ketika sebuah perekonomian diinjeksi oleh kebijakan moneter, itu dosisnya harus tepat. Ketika dosisnya harus tepat maka mekanismenya juga harus tepat, saat harus langsung seperti itu ada kemungkinan kita akan kesulitan menormalisasi mengabsorsi kembali ketika ekonomi itu sudah mulai tumbuh membaik atau recovery,” ujarnya.

Seperti yang dilakukan Amerika waktu itu mereka membuat atau mencetak uang dan situasi ekonominya mulai pulih, walaupun normalisasinya berubah karena perubahan politik dari Obama ke Trump kebijakannya berubah lagi dikarenakan persoalan politik.

“Saya rasa cara yang dilakukan hingga saat ini menurut saya lebih aman, katakanlah membuat mekanisme itu tidak berjalan melalui cetak uang langsung, tapi persoalannya yang terjadi adalah untuk menghadapi covid-19 ini sepertinya kita sangat bertumpu pada bank sentral,” ungkapnya.

Lanjut Eko, kemudian ketidakpastiannya kapan covid-19 selesai belum ketahuan maka berbagai macam relaksasi yang dilakukan dalam sisi regulasi mencetak uang, cara itu tidak akan efektif.

“Mungkin fiskalnya dapat uang tapi tidak cukup efektif menenangkan pasarnya, karena itu juga butuh bauran kebijakan yang pruden. Yang lebih tepat ya manajemen likuiditas ini yang melalui mekanisme perbankan dan pasar. Walaupun kita ada ide yang berseliweran, tapi kurang tepat kalau cetak uang,” pungkasnya.


Gubernur BI: Tak Ada Cetak Uang Lalu Bagikan ke Masyarakat, Ora Ono Kui

Teller menunjukkan mata uang rupiah di Jakarta, Selasa (15/10/219). Rupiah di pasar spot ditutup di level Rp 14.166 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menegaskan BI tidak akan melakukan pencetakan uang kartal untuk penangana pandemi Covid-19. Pasalnya, pencetakan uang bukan merupakan praktik kebijakan yang lazim dan prudent dilakukan oleh bank sentral.

"Ini mohon maaf, kebijakan itu tidak lazim dengan kebijakan moneter yang prudent. Agar Masyarakat paham, mohon pandangan itu tidak lagi disampaikan. Pandangan itu tidak akan dilakukan di BI," kata Perry, Rabu (6/5/2020).

Menurutnya, mekanisme pengedaran uang kartal dan logam, sesuai Undang-undang Mata Uang mengenai perencanaan, pencetakan, dan pemusnahan uang, dilakukan melalui koordinasi Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan.

Sementara jumlah nya, kata Perry, sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang diukur dari pertumbuhan konomi dan inflasi.

"Jadi tidak ada BI cetak uang lalu dibagi-bagi ke masyarakaat, ora ono kui. Jangan menambah kebingungan masyarakat. BI cetak uang untuk tangani covid, itu bukan kegiatan yang lazim di bank sentral dan termasuk BI," kata Perry.

Pernyataan Perry ini menanggapi adanya usulan dari anggota DPR untuk mencetak uang sebesar RP 600 triliun. 

Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Said Abdullah menilai, besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan pemerintah dalam penanganan pandemi virus corona atau Covid-19 kurang mencukupi. Hal itu didasarkan pada berbagai hal, salah satunya ancaman terhadap keringnya likuiditas perbankan.

“Kemudian, semakin membesarnya kebutuhan pembiayaan APBN yang tidak mudah ditopang dari pembiayaan utang melalui skema global bond, maupun pinjaman internasional melalui berbagai lembaga keuangan,” kata Said dalam keterangan tertulis yang diterima merdeka.com, pada Kamis 30 April 2020.

Berpijak pada dua hal tesebut, Banggar DPR RI merekomendasikan kepada Bank Indonesia dan pemerintah untuk melakukan sejumlah hal.

Pertama, melakukan kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga 2 persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas.

Selanjutnya, Bank Indonesia juga sebaiknya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya, agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat.

Selain itu, Bank Indonesia juga dapat mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya slowing down, tidak mudah mencari sumber-sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar.

“Bank Indonesia dapat menawarkan yield sebesar 2-2,5 persen, sedikit lebih rendah dari global bond yang dijual oleh pemerintah,” lanjutnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya