Liputan6.com, Jakarta - Pekan lalu, media sosial PT PLN, dibanjiri banyak aduan pelanggan. Aduan berisi rasa kaget tentang lonjakan tagihan listrik yang menurut masyarakat terlampau besar.
"Sy pengguna listrik 900 va non subsidi sebelum pandemi atau adanya dispensasi dari pln kalau beli token 20000 biasanya bisa sampai 4 sampai 5 hari tapi setelah itu mulai berlaku sy merasa pemakaian saya sangat meningkat sampai2x lipat malahan karena kalau beli token 20000 cmn dehari semalm habis," keluh akun @sumardinmaddink di akun instagram @pln_id.
Adapula yang langsung meminta klarifikasi PLN. "Minta klarifikasinya segera tentang tarif listrik yang tiba tiba membengkak. Please," ujar akun @mirdhasultan.
Baca Juga
Advertisement
PLN pun buka suara soal keluhan ini. PT PLN Unit Induk Distribusi Jakarta Raya (Disjaya) mengakui jika banyak masyarakat yang mengadukan kenaikan tarif listriknya. Dari catatan perusahaan pelat merah ini, terdapat 2.900 keluhan masyarakat akibat melonjaknya penagihan tarif listrik selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
General Manager PLN Disjaya Ikhsan Asaad mengatakan, dari total pengaduan tersebut, 94 persen di antaranya memang mengacu pada ukuran pemakaian. Sedangkan 6 persen lain lantaran ada kesalahan pencatatan administrasi.
"Dari data sampai saat ini jumlah pengaduan 2.900 pelanggan. 2.200 pelanggan sudah diselesaikan, jadi angkanya sesuai pemakaian. Sementara 6 persen harus dikoreksi," jelasnya dalam siaran pers online PLN Disjaya.
Dia pun mengaku jika pihaknya merespons secara cepat pengaduan-pengaduan terkait tagihan listrik yang diterima melalui Contact Center PLN 123. Petugas di lapangan juga siap mendatangi rumah pelanggan apabila ditemukan ketidakwajaran tagihan.
"Kami berupaya dengan cepat dan tepat dalam menyelesaikan pengaduan yang ada, hingga saat ini lebih dari 73 persen pengaduan telah diselesaikan," ungkap dia.
Mayoritas pelanggan yang mengeluhkan kenaikan tarif adalah yang berdaya 900 VA. Opini pun muncul di masyarakat soal duagaan adanya kenaikan tarif listrik yang dilakukan PLN secara sepihak.
Hal itu kembali dibantah PLN yang memastikan tarif dasar listrik seluruh golongan tarif tidak mengalami kenaikan, termasuk rumah tangga daya 900 Volt Ampere (VA) Rumah Tangga Mampu (RTM) dan diatasnya.
Adanya peningkatan tagihan rekening listrik bulan April disebabkan karena selisih tagihan rekening di bulan sebelumnya.
Seperti diketahui penetapan tarif dilakukan 3 bulan sekali oleh pemerintah. Untuk tarif April hingga saat ini dinyatakan tetap, yakni sama dengan periode 3 bulan sebelumnya.
"Kami pastikan saat ini tidak ada kenaikan listrik, harga masih tetap sama dengan periode tiga bulan sebelumnya. Bahkan sejak tahun 2017 tarif listrik ini tidak pernah mengalami kenaikan," tutur Executive Vice President Corporate Communcation and CSR PLN, I Made Suprateka.
Dia pun membeberkan penyebab adanya kenaikan tarif. Kenaikan angka penagihan terjadi, lantaran pemakaian listrik pada saat PSBB di Maret dan April 2020 meningkat, dan baru dihitung pada Mei ini.
Pihaknya menemui fakta adanya perubahan mekanisme dan kebiasaan pemakaian listrik sejak PSBB diterapkan. Padahal, menurut perhitungan pada Desember 2019, Januari dan Februari 2020, pemakaian listrik cenderung stabil.
Made lalu menjelaskan secara sederhana, semisal tagihan tarif listrik pada 3 bulan tersebut berada di kisaran 50 kWh. "Mari kita contohkan, rata-rata per bulan 50 kWh. Maret intensitas listrik mulai meninggi. Katakanlah mereka sudah mulai 70 kWh. Tapi karena protokol Covid-19, kita gunakan pencatatan dengan 3 bulan sebelumnya, 50 kWh. Riilnya konsumsi 70 kWh, tapi kita mem-billing 50 kWh. Berarti ada 20 kWh yang belum tertagih" jelas dia.
Sisa tagihan tersebut kemudian dialihkan untuk April 2020, sehingga pada saat pembayaran di bulan tersebut ada tambahan tanggungan listrik 20 kWh. Namun, pada waktu tersebut pemakaian listrik justru semakin meningkat.
"Saat bulan April full 24 jam 30 hari itu PSBB diterapkan. kWh realisasi April itu 90 kWh. Di sini mulai gunakan catatan mandiri. Tercatat 90 kWh, plus 20 kWh yang carry over dari bulan Maret," terangnya.
Oleh karenanya, Made menyatakan, penagihan tarif listrik pada bulan ini jadi terhitung 110 kWh. Dia pun meminta maaf atas minimnya penjelasan seperti ini kepada pihak pelanggan.
Tonton Video Ini
Jelaskan ke Masyarakat
Kasus tagihan listrik yang naik berkali-kali lipat ini pun mengundang perhatian beberapa pihak. Anggota Ombudsman RI Laode Ida mengaku menerima beberapa keluhan dari masyarakat terkait tagihan listrik yang melonjak saat pandemi virus corona atau Covid-19.
Berdasarkan aduan masyarakat, tagihan listrik bisa berlipat ganda. "Sejumlah pelanggan mengeluhkan, di antaranya telah mengeluh pada Ombudsman, akibat tagihan listrik bulan terakhir melonjak secara berlipat ganda, padahal pemakaian listrik oleh pelanggan dianggap normal saja atau tidak naik," ujar dia, Rabu (6/5/2020).
Laode Ida mengakui, lonjakan tagihan listrik jelas memberatkan masyarakat. Terlebih banyak pelanggan listrik yang ekonominya terdampak akibat pandemi Covid-19. "Semula pihak pelanggan berharap akan memperoleh diskon tarif listrik di era krisis akibat Covid-19 ini, eh malah justru terbalik," kata Laode Ida.
Dia pun meminta agar jajaran pimpinan PLN membuat kebijakan untuk kembali mengecek meter ke rumah pelanggan karena prosedur pengecekan meter tidak menimbulkan kontak dengan orang lain, sehingga minim risiko penularan Covid-19.
"Toh juga petugas PLN jika datang langsung lakukan pengecekan secara fisik tidak bersentuhan dengan orang di lokasi meteran listrik, sehingga tidak beralasan untuk tidak menugaskan petugasnya untuk kerja secara normal," kata Laode Ida.
Menurut dia, justru aneh jika PLN meminta pelanggannya untuk mengecek meteran listrik secara mandiri di masa pandemi virus corona Covid-19 ini.
Sejatinya, menurut Laode Ida, pimpinan PLN sadar bahwa listrik merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat. Menurut Laode Ida, sudah menjadi hak dari pelanggan untuk mendapatkan pelayanan prima dari PLN.
"Tidak boleh dengan alasan wabah Covid-19 kemudian justru meminta para pelanggan untuk self service terkait dengan tagihan penggunaan listrik," kata dia.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menyatakan jika saat ini tidak ada kenaikan tarif listrik. Tagihan listrik yang saat ini dikenakan, merupakan perhitungan rata-rata dari pemakaian tiga bulan terakhir.
Petugas yang biasanya melakukan pengecekan meteran, sementara waktu tidak dapat melakukannya karena kebijakan PSBB covid-19 ini. Kebijakan tersebut, berlaku sampai dengan masa pandemi ini selesai, sampai dengan petugas bisa kembali lagi ke lapangan untuk mengecek. Setelah itu, apabila ada selisih tagihan, maka akan dilakukan penyesuaian.
Kendati demikian, Eddy berpesan kepada PLN agar sesegera mungkin menjelaskan situasinya kepada masyarakat agar tidak muncul angapan yang tidak diinginkan.
"Pesan saya, hal ini harus dikomunikasikan secara langsung dan cepat kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat itu menduga-duga, apalagi berspekulasi buruk tentang PLN, sampai timbul isu adanya subsidi silang ini," ujarnya.
Advertisement
PLN Harus Apa?
Lembaga yang kerap menerima aduan masyarakat pun memberikan pandangannya. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menilai manajemen PLN kurang melakukan edukasi kepada konsumennya bahwa salah satu efek Work From Home (WFH) wabah corona adalah naiknya konsumsi listrik.
“Banyak konsumen rumah tangga berteriak, tagihan listriknya melonjak antara 50-100 persen bahkan bisa lebih. Sementara konsumen mengaku pemakaian normal. Manajemen PT PLN pun mengaku tidak ada kenaikan tarif listrik. Hal yang sama juga diaminkan oleh regulator, Ditjen Ketenagalistrikan,” kata Tulus kepada Liputan6.com.
Menurut Tulus, memang sejak awal pemberlakukan WFH efeknya konsumsi energi listrik klimaksnya adalah tagihan yang naik. Seharusnya PLN memberikan edukasi dan informasi bahwa selama WFH konsumen berhemat listrik.
Selain itu, efek WFH selanjutnya yakni petugas pencatat meter PT PLN tidak datang ke rumah konsumen, dan konsumen diminta untuk mengirimkan data posisi stand meter terakhir via photo.
Apabila konsumen tidak mengirimkan bukti stand meter terakhir, maka PLN akan menggunakan formulasi 3 bulan terakhir untuk menentukan pemakaian listrik konsumen.
Hanya saja informasi ini tidak 100 persen sampai ke konsumen, sehingga konsumen tidak mengerti imbauan dan formulasi tersebut.
“Kesimpulannya, komunikasi publik PT PLN kepada konsumen selama pandemi terlihat kurang maksimal (minim) sehinggai informasi penting tidak sampai pada konsumen. Sehingga menimbulkan shock pada konsumen,” jelasnya.
Di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh PLN untuk mengantisipasi kasus serupa.
"Pertama, PLN perlu menyampaikan lagi secara luas bahwa tidak ada kenaikan tarif. Hal yang sama juga perlu dilakukan oleh pemerintah, yaitu Kementerian ESDM," ujar Fabby kepada Liputan6.com.
Selanjutnya, PLN juga perlu menjelaskan bagaimana data konsumsi listrik diambil dan jadi dasar tagihan listrik pelanggan, mengingat dalam 2 bulan ini tidak ada petugas catat meter yang berkeliling. Penjelasan ini nantinya bisa menjawab keraguan masyarakat.
"Saya kira perlu karena untuk pelanggan pascabayar yang ditanyakan adalah bagaimana PLN tahu konsumsi listrik mereka padahal tidak ada pencatat meter yang datang. Ini perlu dijelaskan oleh PLN," lanjutnya.
Yang ketiga, PLN perlu memberikan penjelasan dan jaminan rekonsilias data konsumsi listrik setelah dilakukan pencatatan riil, apa yang akan dilakukan setelah rekonsiliasi dilakukan dan bagaimana langkah penyesuaian tagihan untuk pelanggan ke depannya.
"Artinya apabila rekonsiliasi telah dilakukan dan ditemukan konsumen menggunakan energi lebih sedikit atau banyak maka akan disesuaikan di tagihan listrik di bulan-bulan selanjutnya," kata Fabby.
Selain itu, masyarakat diminta juga perlu aktif memeriksa data historis penggunaan listrik dari bulan ke bulan, dari slip tagihan listrik di mana di sana tercantum jumlah energi yang dikonsumsi pada bulan sebelumnya.