Liputan6.com, Jakarta Lockdown COVID-19 secara global di berbagai negara rupanya dapat memicu kematian akibat tuberkulosis (TBC). Temuan tersebut hasil penelitian para ahli dari Stop TB Partnership, Imperial College, Avenir Health, Johns Hopkins University, dan USAID.
Para peneliti melakukan analisis pemodelan yang berfokus pada pasien TBC di India, Kenya, dan Ukraina. Diperkirakan kematian akibat TBC bisa melonjak selama 5 tahun ke depan, dari 2020 sampai 2025.
Baca Juga
Advertisement
Analisis pemodelan berjudul, The Potential Impact of The COVID-19 Response on Tuberculosis in High Burden Countries: A Modelling Analysis menunjukkan, dua bulan lockdown diikuti pemulihan situasi di India, kematian pasien tuberkulosis bisa mencapai 151.120 jiwa (5,70 persen), dengan kasus penambahan infeksi TBC sebesar 514.370 jiwa (3,55 persen).
Pada kondisi India yang menerapkan lockdown tiga bulan diikuti pemulihan situasi selama 10 bulan, kematian TBC bisa mencapai 511.930 jiwa (19,31 persen), dengan kasus penambahan infeksi 1.788.100 jiwa (12,32 persen).
Di tingkat global, lockdown dua bulan bisa memicu kematian TBC 342.500 jiwa (4 persen) dan 1.367.300 jiwa (16 persen) kematian TBC pada lockdown selama tiga bulan berturut-turut.
Dari analisis di atas yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Kamis (7/5/2020) terlihat dampak bagi pasien tuberkulosis dalam jangka menengah selama 5 tahun ke depan (2020 sampai 2025) bahwa lockdown COVID-19 selama 2-3 bulan berturut-turut dapat menghambat pengendalian TBC. Pemulihan cepat layanan TB sangat penting untuk meminimalkan dampak negatif kematian akibat TBC.
Gangguan Layanan Kesehatan
Analisis pemodelan juga menunjukkan, alasan yang mendasari dampak lockdown COVID-19 terhadap peningkatan kasus dan kematian TBC.
Hal itu sangat dipengaruhi oleh gangguan layanan kesehatan. Selama masa lockdown, pasien TBC kehilangan peluang untuk diagnosis dan pengobatan. Ini karena pasien TBC biasa berkonsultasi dengan tatap muka di fasilitas kesehatan.
"Oleh karena itu, pemulihan layanan TBC secara normal patut dilakukan. Bisa juga melibatkan masyarakat secara intensif, menjaga kesadaran akan pentingnya pelayanan TBC dan peningkatan case finding aktif, termasuk peningkatan skala kontak melacak diagnosis TBC yang terlewatkan selama periode lockdown," tulis peneliti.
Dalam analisis pemodelan yang dipublikasikan pada 6 Mei 2020 tidak membahas interaksi langsung antara TBC dan SARS-CoV-2.
Walaupun bukti awal menunjukkan, infeksi TBC yang sudah ada sebelumnya mungkin faktor risiko yang dapat memperberat gejala COVID-19 (bila pasien TBC terjangkit COVID-19). Butuh penelitian lebih lanjut tentang dampak COVID-19 terhadap pasien TBC.
Advertisement
Tantangan Pengobatan TBC Selama COVID-19
Situasi pandemi COVID-19 mengakibatkan deteksi kasus TBC di berbagai negara menurun dan muncul tantangan baru dalam pengawasan pasien TBC yang harus minum obat secara teratur. Pada Hari Tuberkulosis Sedunia, 24 Maret 2020, Kementerian Kesehatan mengedarkan Protokol Pelayanan TBC di Masa Pandemi COVID-19 untuk memastikan bahwa layanan TBC tetap berjalan.
Pasien TBC dapat membawa obat anti TBC (OAT) untuk durasi lebih panjang sehingga pasien tidak perlu pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan setiap hari.
Pasien TBC menghadapi beberapa tantangan, terutama pasien dengan resistensi obat. Ini karena pasien perlu mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan untuk suntik atau kontrol dahak ulang serta konsultasi klinis.
“Kader dan pendamping pasien TBC menyampaikan tantangan terbesar pasien adalah transportasi. Ya, karena tidak semua rumah tangga pasien TBC memiliki kendaraan pribadi. Sebelumnya, beberapa pasien menggunakan ojek ke rumah sakit atau puskesmas," ungkap Penasihat Senior Program TBC Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama, Esty Febriani, yang terlibat sebagai Dewan Penasihat STPI dan anggota WHO Civil Society Task Force.
Menurut Wakil Ketua Perkumpulan Arek Nekat (REKAT) Surabaya, Ani Herna Sari, pasien TBC perlu mengakses Jaring Pengaman Sosial selama COVID-19 yang disediakan pemerintah. Misal, Bantuan Tunai Langsung dari Dana Desa serta Kartu Sembako. Perlu perhatian dari ketua RT/RW dan kepala desa atau kelurahan mengenai kebutuhan sosial dan ekonomi para pasien resisten obat.
Apalagi pasien TBC yang telah kehilangan pekerjaan dan pendapatan saat menjalani pengobatan TBC selama 6 bulan atau lebih, sehingga semakin buruk situasinya dalam situasi pandemi COVID-19.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Advertisement