Waisak, Pandemi, dan Kesunyian di Candi Muarajambi

Peninggalan leluhur masa lampau di kompleks percandian Muarajambi kini masih sunyi karena pandemi.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 07 Mei 2020, 17:00 WIB
Suasana pelataran Candi Gumpung di kompleks percandian Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Rabu (6/5/2020). Biasanya pelataran luas tersebut selalu digunakan untuk perayaan Waisak. (Liputan6.com / Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Sinar mentari sore mulai terhalang pepohonan yang tegak menjulang di belakang Candi Gumpung. Suasana sore di pelataran bangunan Candi Gumpung kompleks percandian Muarajambi itupun sedang teduh-teduhnya.

Tak hanya teduh dilindungi banyak pohon rindang, di situs purbakala peninggalan masa klasik itu juga masih diselimuti kesunyian. Di antara bangunan Candi Gumpung dan Candi Tinggi I, hanya terlihat seorang petugas sedang memotong rumput yang mulai semak.

Raungan mesin potong rumput yang dioperatori petugas kebersihan juru pelihara tadi belum mampu melenyapkan kesunyian di tengah jejak peradaban tua kompleks percandian Muarajambi. Situs Muarajambi yang merupakan kompleks percandian terluas di Asia Tenggara itu masih saja hening.

Seyogyanya di kompleks percandian Muarajambi Rabu sore (6/5/2020), menjelang perayaan Waisak akan ramai didatangi ribuan umat Buddha. Tapi apa kehendak karena pandemi Covid-19, perayaan Waisak di situs purbakala itu diurungkan.

Karena pandemi itu, umat Buddha tidak menggelar berbagai rentetan prosesi ritual peribadatan seperti Puja Bhakti, Meditasi deti-detik Waisak, Pradaksina, Pujak Waisak hingga Pemandian Buddha Rupang di Muarajambi.

Menurut Tokoh Pemuda Desa Muara Jambi, Abdul Haviz, sejak tahun 2009 berbagai ritual peridabatan dan perayaan Waisak selalu dipusatkan di Candi Muarajambi. Sejak dari tahun tersebut, sudah dua kali perayaan waisak berbarengan dengan bulan suci Ramadan.

"Tahun ini sangat berbeda, Waisak yang bertepatan dengan bulan Ramadan ini kita belum bisa bertemu di Candi Muarajambi, tapi mau gimana lagi ya, namanya juga cobaan," ujar Abdul Haviz kepada Liputan6.com.

Ahok, begitu sapaan karib Abdul Haviz menjelaskan, kehadiran candi Murajambi yang merupakan warisan leluhur itu telah memberikan pelajaran toleransi yang sangat erat. Saat perayaan Waisak, komunitas pemuda desa setempat yang merupakan umat Muslim akan membantu pelaksanaan hingga pengamanan ibadah umat Buddha.

Begitu juga pada tahun-tahun sebelumnya saat perayaan waisak, perkumpulan umat Buddha akan menyediakan takjil untuk berbuka umat Muslim. Pada saat perayaan itu di Muarajambi juga didatangi pelancong.

"Semoga wabah covid ini lekas pergi, biar kita bisa bertemu dan silaturahmi lagi di Candi Muarajambi," kata Ahok yang juga Ketua DPD Himpunan Pramuwisata (HPI) Jambi itu.

Pamong Budaya Muda dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, Novie Hari Putranto membenarkan, perayaan hari raya Waisak 2564 BE di kompleks percandian Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, yang jatuh pada Kamis 7 Mei 2020 itu ditiadakan.

Keputusan meniadakan pusat perayaan Waisak di kompleks percandian itu dilakukan untuk mencegah pandemi Covid-19 yang belum mereda. Kompleks Muarajambi masih ditutup sementara.

"Tahun ini tidak ada waisak di candi Muarajambi, karena kan ada imbauan tidak boleh mengumpulkan massa," kata dia.

Selama masa pagebluk Covid-19 itu, kompleks percandian Muarajambi sudah hampir dua bulan ditutup, baik untuk peribadatan maupun kunjungan wisata. Meski ditutup, pihak BPCB Jambi mengaku, terus melakukan pemeliharaan bangunan cagar budaya peninggalan sejarah.

 

Simak Video Pilihan Berikut:


Doa Waisak: Semoga Pandemi Segera Berlalu

Sejumlah biksu sedang beribadah saat perayaan Waisak tahun 2019 di pelataran Candi Gumpung kompleks percandian Muarajambi. (Liputan6.com / dok Gresi Plasmanto)

Sama seperti dengan umat lainnya yang ada di Indonesia. Tahun ini peribadatan perayaan Waisak dilakukan di rumah umat masing-masing. Hal ini dilakukan sesuai dengan imbauan pemerintah untuk tidak mengerahkan kerumunan banyak orang dalam mencegah penyebaran virus corona.

Dalam surat edaran yang dikeluarkan Kementerian Agama Provinsi Jambi telah memberikan panduan pelaksanaan ibadah. Di antaranya dalam melakukan renungan detik-detik Waisak pada pukul 17.44.51 WIB diimbau kepada umat Buddha untuk bermeditasi selama 5 menit.

Ketua Perkumpulan Umat Buddha Jambi Rudy Zhang mengatakan, untuk peribadatan Waisak digelar melalui berbagai saluran siaran langsung. Umat Buddha bisa mengikuti rangkaian peribadatan dari rumah masing-masing.

"Meski peribadatan waisak dilakukan di rumah, tapi tidak mengurangi khidmat dan kekhusyukan," kata Rudy.

Pada perayaan Hari Trisuci Waisak 2564 BE/2020 di Provinsi Jambi mengusung tema "Mawas diri dan toleransi menjaga keharmonisan bangsa". Di tengah pandemi seperti sekarang ini toleransi dan keharmonisan antarumat senantiasa harus selalu terjaga.

"Sama dengan umat lainnya, kami juga selalu berdoa agar masalah pandemi ini secepatnya berlalu. Yang sakit segera disembuhkan, semuanya bisa pulih sediakala," katanya.

 


Candi Muarajambi Dulu dan Sekarang

Komunitas seni dan budaya di Desa Muara Jambi, Kabupaten Muaro Jambi. Kehadiran kompleks percandian Muarajambi menumbuhkan tolerasi sangat erat sampai sekarang. (Liputan6.com / dok desa wisata muarajambi)

Banyak peneliti dan sejarawan abad modern menafsirkan peninggalan bangunan-bangunan candi di kompleks percandian Muarajambi yang berada di tepian Sungai Batanghari itu dengan sebutan Mahavihara. Sejarah juga mencatat kompleks percandian Muarajambi pada masa itu pernah didatangi biksu kesohor seperti I-Tsing dan Atisha untuk belajar.

Pun sejumlah literatur menggambarkan kompleks percandian Muarajambi yang menghampar di lokasi seluas 3.981 hektare itu sebagai peninggalan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Disisi lain, situs Muarajambi juga menjadi pusat pendidikan agama Buddha pada abad 7-12 Masehi.

Kompleks percandian Muarajambi merupakan kompleks percandian Hidu-Buddha yang terluas di Asia Tenggara. Luasnya disebut-sebut delapan kali dari luas Borobudur. Menurut data dari BCPB Jambi, peninggalan kepurbakalaan di kawasan ini meliputi kompleks percandian, situs permukiman kuno, dan sistem jaringan perairan masa lampau dengan cakupan delapan desa.

Muarajambi sebagai lokasi peninggalan pubakala itu pertama kali dikenal dari laporan seorang perwira angkatan laut kerajaan Inggris, S C Crooke tahun 1820. Crooke melaporkan bahwa ia melihat reruntuhan bangunan dan menemukan sebuah arca yang menggambarkan arca Buddha.

Kompleks percandian Muarajambi tercatat memiliki 82 reruntuhan candi (menapo). Saat ini sudah ada sejumlah bangunan candi yang telah dilakukan pemugaran dan ekskavasi. Di antaranya adalah Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembar Batu, Candi Gedong I, Gedong II, Candi Tinggi I, Tinggi II, Candi Teluk, Candi Koto Mahligai, dan Candi Kedaton.

Seiring dengan sejarah dan tinggalan peradaban pada masa lampau itu, situs Muarajambi kini terus berkembang sebagai destinasi wisata unggulan di Indonesia. Tak hanya wisatawan umum, situs Muarajambi pada masa sekarang juga masih sering dikunjungi bhikshu dari berbagai negara.

Kini di tengah pandemi itu tidak dipungkiri turut memporakporandakan tingkat kunjungan di Muarajambi. Sudah hampir dua bulan situs Muarajambi ditutup untuk berbagai kegiatan.

Jejak peradaban itupun kini masih sunyi. Suatu saat jika pandemi berakhir, kompleks percandian Muarajambi pasti sediakala menunggu datangnya wisatawan dari berbagai penjuru dan multi etnis. Semoga pandemi ini segera berlalu agar Muarajambi menemukan lagi keramaiannya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya