Liputan6.com, Jakarta Polri bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam menangani kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami Anak Buah Kapal (ABK) berwarga negara Indonesia (WNI) di kapal China.
Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Ferdy Sambo menyampaikan, pihaknya langsung bergerak setelah temuan kasus tersebut viral.
Advertisement
"Enggak (tidak ada laporan), kan beredar di YouTube. Kemudian kami koordinasi dengan Kemenlu dan kementerian terkait," tutur Ferdy saat dikonfirmasi, Jumat (8/5/2020).
Menurut Ferdy, setelah penanganan oleh otoritas Korea Selatan (Korsel) dan dipulangkan Kemlu, para ABK WNI akan menjalani pemeriksaan di Polri. Mereka akan tiba di Indonesia Jumat sore ini.
"Lalu direncanakan pemeriksaan itu," jelas dia.
Secara teknis, para ABK WNI ini akan melakukan karantina diri selama 14 hari sesuai protokol kesehatan virus Corona. Pemeriksaan pun dilaksanakan secara virtual atau online, sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) Covid-19.
"Seluruhnya (diperiksa)," Sambo menandaskan.
Penelusuran Liputan6.com, para ABK itu berada di kapal Long Sing 629 milik China. Mereka memberikan informasi tentang keadaan mereka ke media Korsel saat sedang berlabuh di Busan.
Media MBC melaporkan, ketika penyelidikan hendak dilakukan, kapal tersebut sudah kembali melanjutkan perjalanan. Dalam video yang ditayangkan MBC, terlihat ada seorang ABK yang meninggal di kapal tersebut yang kemudian jasadnya dibuang ke laut.
Media tersebut juga turut mengungkapkan bahwa sebelum jasad yang ada di video tersebut dibuang, ada pula beberapa jasad lainnya yang telah dibuang terlebih dahulu, tepat setelah mereka meninggal dunia.
Menurut informasi dari salah seorang saksi, ada empat ABK yang telah meninggal dunia selama perjalanan kapal tersebut.
Selanjutnya, media MBC juga menampilkan adanya surat pernyataan dari para ABK yang menyatakan kesediaan mereka untuk dikremasi bila timbul suatu musibah hingga meninggal di tempat kapal itu bersandar.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Sederet Kesaksian
Sebuah kesaksian yang juga ditampilkan MBC menyatakan, sistem kerja di kapal milik RRT tersebut memiliki kondisi yang tidak layak termasuk mengeksploitasi tenaga kerja yang ada. Bahkan menurutnya, ABK yang meninggal tersebut sebelumnya sudah sakit selama satu bulan.
"Awalnya keram terus tahu-tahu kakinya bengkak, dari kaki terus nyerang ke badan terus sesak dia," ujar seorang saksi yang ditampilkan MBC.
Keadaan digambarkan lebih parah lagi, ketika ada laporan bahwa air mineral yang dibawa untuk perbekalan di kapal tersebut hanya diminum oleh awak China. Sedangkan awak Indonesia hanya diizinkan meminum air laut yang difiltrasi.
"Pusing terus enggak bisa minum air itu sama sekali. Pernah juga sampai kaya ada dahak-dahak di sini," ujar saksi tersebut.
Seorang saksi yang lain mengatakan bahwa para ABK memiliki jam kerja hingga 18 jam dengan waktu istirahat hanya 6 jam setelahnya.
Tak sampai disitu, upah yang didapat mereka selama bekerja hingga 13 bulan hanya sekitar US$ 120 atau Rp 1,7 juta. Atau dengan kata lain, gaji bulanannya hanya sekitar Rp 100.000.
Kapal tersebut semestinya bertujuan menangkap ikan tuna, namun terkadang juga menangkap ikan hiu. Aktivitas ilegal itulah yang membuat mereka tidak bisa berhenti di daratan mana pun.
Advertisement