Liputan6.com, Jakarta Sejumlah industri pengolahan nonmigas di Tanah Air sedang mengalami tekanan hebat akibat pandemi Covid-19. Terjadinya kontraksi pada sektor manufaktur ini dipengaruhi penurunan permintaan domestik, yang selama ini menyerap hingga 70 persen dari total produksi industri manufaktur.
"Ketika daya beli menurun, secara otomatis perusahaan industri melakukan penyesuaian termasuk penurunan utilitasnya," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita melalui siaran pers, Jumat (8/5).
Advertisement
Dia menjelaskan kondisi ini tercermin melalui Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang turun pada bulan April 2020 hingga menyentuh angka 27,5. Hal ini diakibatkan turunnya utilitas industri hingga 50 persen, menyebabkan merosotnya indeks PMI manufaktur Indonesia.
Di samping itu, beban input dari impor serta tekanan nilai tukar rupiah berdampak menurunkan output secara signifikan. Hal ini mengukuhkan dampak buruk pandemi ini telah memukul berbagai sektor perekonomian, khususnya mengenai sisi permintaan dan suplai.
Agus menyampaikan, kondisi Indonesia saat ini hampir serupa dengan India, karena kedua negara memiliki struktur industri yang mirip. Kementerian Perindustrian pun berupaya mendorong peningkatan rasio penyerapan produk industri Indonesia di pasar global untuk jangka menengah dan jangka panjang.
Untuk itu, pihaknya telah memetakan sejumlah sektor industri yang terdampak pandemi Covid-19. Dari hasil pemetaan, didapati tiga kelompok besar, yaitu industri yang suffer, moderat, dan high demand.
"Kemenperin berkomitmen untuk mencari jalan keluar terbaik agar industri yang terdampak berat tetap dapat bertahan. Untuk industri yang masuk dalam kelompok high demand, akan kami optimalkan kinerjanya," terangnya.
Optimis Pulih
Lebih lanjut, Menperin Agus optimistis industri manufaktur nasional dapat pulih secara bertahap ketika kembali beroperasi dengan normal. Sehingga tiga bulan setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selesai, angka PMI manufaktur Indonesia dapat kembali di level 51,9 pada bulan Februari 2020.
Pemulihan angka PMI manufaktur Indonesia sangat tergantung juga terhadap kebijakan yang diambil pemerintah dalam menyikapi dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor industri dan perekonomian. Kebijakan yang tepat dan terukur nantinya akan membuka peluang bagi sektor industri dan perekonomian untuk bangkit pasca pandemi ini.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Shinta Wijaya Kamdani menyatakan penurunan angka PMI manufaktur Indonesia sebagai dampak dari dua hal. Pertama, berkurangnya supply bahan baku industri serta turunnya permintaan ekspor dari berbagai negara tujuan. Selain itu, penerapan PSBB yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia turut membawa dampak pada supply dan demand sektor industri.
"Terdapat pembatasan pergerakan transportasi di berbagai daerah. Sehingga rantai pasok dan distribusi bahan baku juga terpengaruh," ujar dia.
Shinta kemudian berujar Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) yang diterbitkan oleh Kemenperin bertujuan agar perusahaan dapat beroperasi dalam masa tanggap darurat covid-19 dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Ia pun mendorong pemerintah daerah merestui perusahaan yang mendapatkan IOMKI dapat beroperasi.
Pada prinsipnya, pengusaha menyetujui pengawasan dan pemberian sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan protokol kesehatan. Namun demikian, harus dilakukan secara tepat dan proporsional sehingga perusahaan industri dapat tetap berproduksi.
"Saya yakin tujuan kepala daerah untuk melakukan pengawasan operasional baik dan kami juga mempersilahkan apabila ada tindakan bagi perusahaan industri yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan covid-19," pungkasnya.
Merdeka.com
Advertisement