ABK Indonesia Banyak Bekerja di Kapal Asing, Apa Alasannya?

Di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur standar upah bagi ABK perikanan.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Mei 2020, 17:15 WIB
WNI ABK World Dream tiba di di Kolinlamil, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu (14/3/2020). Sebanyak 188 WNI ABK World Dream telah usai jalani masa observasi di Pulau Sebaru, kondisinya sudah sangat baik dan sehat untuk bisa kembali ke rumahnya masing-masing. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa warga Indonesia bermimpi menjadi awak kapal atau ABK di luar negeri. Beberapa ingin menjadi awak kapal pesiar dan beberapa ingin menjadi awak kapal asing yang menangkap ikan. Alasannya sudah pasti, bekerja di kapal asing bisa memperoleh pendapatan tinggi ketimbang bekerja di dalam negeri.

"Bekerja di kapal asing itu mereka mendapatkan gaji yang lebih tinggi," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Moh Abdi Suhufan kepada merdeka.com, Jakarta, Jumat (8/5/2020).

Perusahaan ikan tangkap luar negeri menjanjikan gaji dengan bayaran dolar AS. Misalnya perusahaan kapal asing asal Taiwan yang menggaji awak buah kapal sampai Rp 4,5 juta per bulan. Begitu juga dengan China yang memiliki standar gaji bagi awak kapal sekitar Rp 3 juta per bulan.

Kata Abdi, dua negara tersebut termasuk yang memiliki standar upah terendah. ABK  yang bekerja untuk perusahaan ikan tangkap di Jepang, Korea, Spanyol dan Selandia Baru memiliki standar yang lebih tinggi.

Selain standar gaji, mereka juga memiliki kontrak kerja sebagai kepastian lama kerja. Sebab di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur standar upah bagi awak kapal perikanan.

"Di Indonesia belum ada regulasi untuk penggajian standar awak kapal perikanan," kata Abdi.

 


Sistem Bagi Hasil Tak Berkeadilan

WNI ABK World Dream tiba di di Kolinlamil, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu (14/3/2020). Sebanyak 188 WNI ABK World Dream telah usai jalani masa observasi di Pulau Sebaru, kondisinya sudah sangat baik dan sehat untuk bisa kembali ke rumahnya masing-masing. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pada industri perikanan tangkap, awak kapal digaji dengan sistem bagi hasil. Pendapatan mereka tidak menentu dan tergantung hasil jual ikan saat di darat. Termasuk juga dari jenis ikan yang ditangkap akan menghasilkan upah yang berbeda. Kata Abdi awak kapal yang bekerja di kapal penangkap cumi-cumi, ikan tuna, ikan cakalang akan berbeda secara pendapatan

"Mestinya (awak kapal dibayar) standar (gaji) UMR, cuma mayoritas mereka itu enggak digaji tapi pakai sistem bagi hasil," tutur Abdi.

Namun sistem bagi hasil tersebut juga dirasa kurang adil bagi awak kapal. Selain perjanjian kerja dibuat secara informal, awak kapal kerap mendapatkan bagi hasil paling kecil.

"Sistem bagi hasil itu juga tidak pernah dimuat dalam perjanjian kerja sama, jadi hanya pengaturan secara informal saja antara kapten kapal dengan awak perikanan," Abdi menjelaskan.

Lebih lanjut dia menjelaskan hasil jual ikan tangkapan dibagi 4 bagian yakni untuk pemilik kapal, nahkoda dan awak kapal. Sekitar 40 atau 60 persen pendapatan menjadi bagian pemilik kapal sebagai bagian dari ongkos logistik. Selanjutnya dibagi tiga dengan persentase yang beda antara pemilik kapal, nahkoda dan awak kapal.

Bagian dari awak kapal itu pun harus dibagi rata dengan jumlah awak kapal yang bekerja. "Dari sekian persen itu dibagi semua dengan jumlah awak kapal," kata dia.

 


Kepastian Upah

Puluhan Anak Buah Kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) di Kapal MV Artania. (Foto: Dokumentasi TNI)

Praktik ketidakadilan seperti inilah yang membuat para awak kapal dalam negeri bermimpi bekerja di kapal ikan perusahaan asing. Sebab dengan bekerja di perusahaan tersebut mereka memiliki kepastian upah yang diterima tiap bulan.

"Jadi memang ada praktik ketidakadilan di dalam negeri ini, karena pemilik kapal ini selalu mendapatkan bagian persentase yang lebih besar," kata Abdi mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya