Kisah Tragis ABK Indramayu, Kerja Tanpa Libur hingga Pulang Hanya Nama

Karista begitu miris melihat pemberitaan soal nasib ABK berbendera China yang mayatnya dilarung ke laut. Dia pun terkenang saat masih menjadi ABK beberapa tahun silam.

oleh Yopi Makdori diperbarui 09 Mei 2020, 14:58 WIB
14 ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal China, Long Xing 629, tiba di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Jumat sore (8/5/2020). (Liputan6.com/ Pramita Tristiawati)

Liputan6.com, Jakarta - Karista begitu miris melihat pemberitaan di media massa tentang nasib anak buah kapal (ABK) berbendera China yang mayatnya dilarung ke laut. Pria 45 tahunan ini terkenang saat masih menjadi ABK Dae Hwa 302 berjenis longline.

Pria yang akrab dipanggil Sitong itu menjadi ABK di kapal tersebut pada 2007 silam. Baru setelah 28 bulan atau tepatnya pada 2009, dia kembali ke Indonesia.

Warga Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu ini mengaku begitu berat bekerja menjadi ABK. Jam kerja yang mencapai 16 jam hingga gaji yang tak seberapa sudah menjadi konsekuensi tersendiri dalam pekerjaan itu.

"Kerja dari jam 12 siang bisa sampai pagi. Itu juga selesai mancingnya, belum lagi beres-beres peralatan bisa sampai jam 8-an," kata Sitong saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Sabtu (9/5/2020).

Sitong menuturkan, usai melaksanakan tugas tersebut, dia langsung tertidur pulas saking lelahnya setelah berjibaku dengan pekerjaan menangkap ikan siang malam. Tak ada waktu untuk sekedar menikmati indahnya pagi di tengah samudera.

Menurut Sitong, ritme kerja seperti itu dilaluinya sampai habis masa kontrak. Melelehkan merupakan sebuah keniscayaan menjadi ABK di sana.

"Enggak ada waktu buat santai-santai kalau di Laut. Apalagi liburan," kata Sitong.

Kalau ada pekerjaan lain yang bisa digarap, mungkin ia tak akan memilih pekerjaan itu. Tapi nasib membuatnya tak bisa memilih.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Upah 150 Dolar Per Bulan

Sitong menceritakan, selama berlayar tak ada waktu kosong baginya. Kalaupun pancing sedang sepi ikan, kata Sitong ia dan 24 ABK lainnya di kapal berbendera Korea Selatan itu diminta untuk melakukan pekerjaan lainnya.

"Kalau bersandar bisa istirahat. Itu pun setahun sekali bahkan pernah sampai lebih," ungkapnya.

Per bulan, kala itu, dia diupah 150 dolar. Dengan asumsi kurs dolar terhadap rupiah kala itu masih sekitar Rp 9.000 per dolarnya. Itupun masih dipotong oleh pihak perusahaan yang memberangkatkannya, yakni Rp 1.500 per dolarnya.

"Paling satu jutaan yang masuk ke kantong," kata Sitong.

Belum lagi, kata Sitong, gajinya dipotong satu setengah bulan guna biaya keberangkatannya di sana. Maklum, menurut dia saat berangkat ke sana dia tak mengeluarkan biaya. Semua biaya ditanggung perusahaan yang menyalurkannya.

 


Terpaksa Makan Babi

Di kapal itu, kata Sitong ada 25 ABK, 10 orang di antaranya merupakan ABK asal Indonesia. Di sana ia mengaku terpaksa memakan daging babi bersama beberapa kawannya karena daging yang disediakan sebagai besar daging babi.

Sitong mengatakan daging babi lebih murah dibanding daging lainnya.

Sebagai seorang muslim, Sitong mengaku begitu bersalah tatkala makan daging yang menurut ajaran agamanya haram.

"Pernah suatu waktu enggak mau makan daging babi, terus makan alakadarnya saja karena stok daging lain tak ada. Terus badan lemas dan laporan ka kapten mau minta obat stamina," kata Sitong.

Kapten merasa heran kenapa kala itu banyak ABK yang mengaku lemas. Dipanggillah koki masak yang merupakan warga negara Korea di kapal tersebut. Di sana koki dimarahi kapten karena dianggap tak menyediakan makanan yang kayak bagi para ABK.

"Malamnya koki itu mabuk berat dan memanggilku ke ruangannya. Dihajarlah aku di sana karena dia tahu aku yang pertama minta obat ke kapten," tutur Sitong.

Saat itu ia tak bisa berbuat apa-apa, apalagi melawan. Posisinya yang tak berdaya membuat dia hanya bersikap pasrah akan perlakuan dari koki tersebut.

 


Pulang Tinggal Nama

Nasib lebih menyediakan dialami oleh tetangga satu desa Sitong. Adalah Sukari yang pulang ke Indramayu hanya tinggal nama.

Kakak kandung Sukari, Wasdinih (50) menceritakan, saat menjelang Ramadan 2013, adiknya berangkat menjadi ABK yang dia tak ketahui secara pasti nama kapal dan perusahaan yang menyalurkannya. Maklum, peristiwa terjadi sudah begitu lama, segala dokumen entah pada ke mana.

Saat menjelang lebaran di tahun yang sama, kata Wasdinih ibunya mendapat kabar bahwa anaknya Sukari hilang. Menurut penuturan pihak perusahaan penyalur dan rekan-rekan sesama ABK mereka sama sekali tak melihat Sukari sama sekali. Padahal saat itu kapal sudah berlayar ke tengah lautan lepas.

"Awalnya yang ngabarin PT (perusahaan penyalur) di sini. Ke ibu yang dikabarin," kata Wasdinih didampingi Sitong.

Pihak perusahaan penyalur, kata Wasdinih, mengaku sudah berusaha mencari Sukari tapi mayat maupun orangnya tak pernah ditemukan hingga saat ini.

Beberapa ABK mengaku awalnya melihat Sukari sedang membereskan peralatan mencari ikan. Biasanya hal itu dilakukan oleh dua ataupun tiga orang. Namun saat itu, Sukari mengerjakannya sendirian dan setelah itu tak ada yang pernah melihatnya kembali.

"Mayatnya enggak pulang, tapi ada asuransi yang kami terima sekitar Rp 50 juta," kata dia.

Sitong menuturkan, memang ada beberapa tetangga yang meninggal saat menjadi ABK. Tapi hanya Sukari yang mayatnya tak kembali.

Di Indramayu memang pekerja yang lazim bagi sebagian besar anak muda di sini untuk menjadi ABK kapal China maupun Korea Selatan. Indramayu juga merupakan salah satu kebutuhan pemasok buruh migran ke Korea Selatan terbesar di Indonesia.

 


Tak Ada Laporan

Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Indramayu, Juwarih mengaku dirinya pernah mendengar ada ABK asal Indramayu yang meninggal tapi tak pulang. Namun selama ini belum ada masyarakat yang melaporkan secara resmi ke pihaknya.

"Kalau laporan resmi mah enggak ada. Tapi kami pernah dapat informasi kalau gak salah di daerah Dadap (daerah pesisir di Indramayu) tapi itu mah katanya badannya remuk masuk baling-baling kapal hancur. Jadi mayatnya gak kembali," kata Juwarih kepada Liputan6.com, Sabtu (9/5/2020).

Juwarih menjelaskan keengganan pihak keluarga tidak melaporkan kasus tersebut karena dianggapnya aib ataupun tak paham. Kadang, mereka juga diminta pihak perusahaan agar tak memperpanjang kasusnya.

"Jadi ketika pihak perusahaan sudah memberikan kompensasi ya sudah selesai," ungkap Juwarih.

Juwarih meminta keseriusan pemerintah untuk melindungi warga negaranya yang menjadi pahlawan devisa bagi negara. Jangan sampai hal yang menimpa 4 ABK kapal berbendera China yang mayatnya dilarung ke laut terulang kembali. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya