Mahathir Mohamad Ajukan Mosi Tidak Percaya terhadap PM Malaysia

Eks PM Malaysia, Mahathir Mohamad, telah mengajukan mosi tidak percaya di Parlemen terhadap penerusnya, PM Muhyiddin Yasin.

oleh Hariz Barak diperbarui 10 Mei 2020, 11:10 WIB
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad melambaikan tangan ke media setelah konferensi pers di Putrajaya, Malaysia, 15 April 2019. Tak ada penjelasan resmi terkait alasan di balik keputusan ini, apalagi selama ini rezim Mahathir tidak mengalami kontroversi. (AP Photo/Vincent Thian)

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, telah mengajukan mosi tidak percaya (motion of no confidence) di Parlemen terhadap penerusnya, PM Muhyiddin Yasin.

Pemimpin Parlemen Malaysia, Mohammad Ariff Md Yusoff dilaporkan telah menerima proposal itu, demikian seperti dikutip dari Channel News Asia, Minggu (10/5/2020).

Mahathir mengajukan agar pemungutan suara untuk mosi tidak percaya (vote of no confidence) berlangsung pada 18 Mei 2020, ketika Parlemen mengadakan sidang. Namun, pengumuman persetujuan Mohammad Ariff belum termasuk penentuan tanggal tersebut.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemungutan suara untuk mosi tidak percaya merupakan voting yang menunjukkan bahwa sejumlah anggota parlemen tidak lagi memiliki kepercayaan kepada pemerintahan yang menjabat.

Hasil voting dapat menunjukkan apakah parlemen masih mendukung pemerintahan tersebut. Jika suara mayoritas mendukung agar PM petahana tetap menjabat, maka ia terus melanjutkan pemerintahan saat ini. Jika hal sebaliknya terjadi, maka perdana menteri akan dilengserkan.

Apa yang Terjadi di Malaysia?

Mahathir, yang kini duduk sebagai anggota parlemen, mengirim surat kepada Pemimpin Parlemen Mohammad Ariff Md Yusoff pada 4 Mei 2020, menyatakan niatnya untuk mengajukan vote of no confidence kepada PM Muhyiddin.

Tun Mahathir mengutip alasan bahwa PM Muhyiddin tidak memiliki dukungan mayoritas dari anggota parlemen untuk tetap menjabat.

Muhyiddin Yassin (John Shen Lee / AP PHOTO)

Pada surat yang sama, Mahathir juga mengajukan mosi kepercayaan (motion of confidence) terhadap Mohammad Ariff untuk tetap menjadi Pemimpin Parlemen hingga parlemen saat ini dibubarkan. Mohammad Ariff menolak usulan tersebut, the Strait Times melaporkan.

Surat itu datang beberapa hari setelah anggota parlemen Shafie Apdal dari Sabah mengajukan mosi kepercayaan di Parlemen terhadap Mahathir pada 1 Mei 2020. Namun, proposal itu ditolak oleh Pemimpin Parlemen, mengutip alasan inkonstitusional.

Voting untuk mosi kepercayaan adalah kebalikan dari mosi tidak percaya, di mana pemungutan suara mendemonstrasikan dukungan parlemen terhadap salah satu figur tertentu. Pada satu variasi alasan, hasil voting bisa memberikan legitimasi kepada seseorang untuk menjadi kepala pemerintahan.

Penolakan Pemimpin Parlemen Mohammad Ariff terhadap mosi kepercayaan yang diajukan Shafie Apdal disebakan oleh "ketidaksesuaian" proposal dengan Pasal 43 Konstitusi Malaysia, yang menjelaskan bahwa penunjukkan perdana menteri merupakan otoritas Raja.

"Oleh karenanya, saya tidak mengizinkan mosi (kepercayaan) dibawa ke agenda sidang," Mohammad Ariff mengatakan, seperti dikutip dari the Strait Times.

Pengaju mosi, Shafie Apdal, tidak menjelaskan alasan diusulkannya hal tersebut ke Parlemen Malaysia, mengatakan bahwa "alasannya akan diungkap pada waktu dan tempat yang tepat." 

Simak video pilihan berikut:


Dinamika Politik di Malaysia Saat Ini

Muhyiddin Yassin (tengah) berdoa sebelum upacara pelantikannya sebagai Perdana Menteri Malaysia di Istana Negara, Kuala Lumpur, Minggu (1/3/2020). Berdasarkan hukum Malaysia, Raja Malaysia berada di atas undang-undang. (NAZRI RAPAAI/AFP/MALAYSIA'S DEPARTMENT OF INFORMATION)

Langkah-langkah yang dilakukan oleh Mahathir dan Shafie Apdal telah menyalakan kembali krisis politik yang dimulai pada 24 Februari 2020, ketika sejumlah anggota Parti Pribumi Bersatu Malaysia pimpinan Mahathir --termasuk Muhyiddin-- dan 11 anggota parlemen dari Parti Keadilan Rakyat (PKR) meninggalkan koalisi Pakatan Harapan (PH) yang memerintah saat itu, menyebabkan PH kehilangan suara mayoritas di parlemen.

Koalisi PH kemudian digantikan oleh koalisi Perikatan Nasional (PN), aliansi yang dibentuk oleh Muhyiddin dengan Barisan Nasional (BN) yang dipimpin Umno dan Parti Islam SeMalaysia --partai-partai yang bukan bagian dari koalisi PH yang memenangkan pemilihan umum terakhir pada Mei 2018.

Meskipun PN mengambil alih kekuasaan, PH bersikeras bahwa baik Muhyiddin dan PN tidak mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen.

Parlemen satu hari akan menjadi ujian pertama apakah salah satu pihak memerintahkan dukungan mayoritas dari 112 anggota parlemen yang diperlukan untuk memerintah negara itu.

Sementara itu, presiden PKR Anwar Ibrahim, pada Kamis 7 Mei 2020, mengumumkan bahwa aliansi PH telah menamainya pemimpin oposisi, The Star melaporkan.

Datuk Seri Anwar membuat pengumuman dalam video langsung Facebook, mengatakan koalisi telah memberitahu Parlemen bahwa ia akan memimpin mereka.

"Keputusan telah diumumkan kepada semua partai oposisi, termasuk fraksi dari Parti Pribumi Bersatu Malaysia dan Parti Warisan Sabah, bahwa saya telah dinobatkan sebagai pemimpin oposisi sekali lagi," katanya.

Anwar telah memegang jabatan itu sejak 26 Juni 2013, hingga 16 Maret 2015, selama menjabat sebagai Anggota Parlemen untuk Permatang Pauh.

Saat ini seorang anggota parlemen untuk Port Dickson, Anwar menggantikan Datuk Seri Ismail Sabri Yaakob dari Umno, yang mengambil peran selama pemerintahan PH.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya